Sengatan Rida K Liamsi Di Laman Kata Rumahitam
Rida K Liamsi di Laman Kata Rumahitam-Batam
UKURAN
panggungnya tidak lebih dari 1,5 x 1 meter. Dan 25 cm saja dari tanah. Untuk ukuran satu orang pembaca puisi yang terbiasa
tidak bergerak liar saja sebenarnya (masih) kecil. Cerdiknya tuan rumah, untuk
memberi sekat dinding yang terbentang memanjang dipajang backdrop seukuran
panggung tadi. Sedangkan penonton duduk lesehan di tikar sekaligus berebut
tempat pula dengan beberapa tiang kamera yang telah siaga untuk
mendokumentasikannya peristiwa malam itu. Namun kekurangan yang ada termaafkan,
dengan kehadiran sosok penyair legendaris Rida K Liamsi. Tak mau menyia-nyiakan
moment kehadiran penggagas dan deklarator hari puisi Indonesia (HPI) tersebut, maka
Datok Seri Lela Budaya oleh panitia didaulat tidak hanya untuk membaca puisi,
melainkan sebagai peneraju utama dalam dialog lugas dan lepas tanpa batas. Tanpa
disadari panggung Rumahitam Batam Berpuisi (RBB) malam itu benar-benar
mengedukasi audience yang hadir. Dalam membaca puisi, sang legendaris tidak
sendirian, melainkan juga dihadiri nama-nama mahal seperti Samson Rambah Pasir,
Tarmizi, Jefri, serta penyair pemula lainnya.
Dialog
sastra di laman kata Rumahitam yang lalu itu terasa bernas dan tajam. Liarnya
dialog memang tidak bisa dilepaskan dari peran dan kepiawaian Sarah Meilina
dari Radio Republik Indonesia (RRI) Batam yang kehadirannya sengaja meliput utuh
kegiatan untuk dijadikan siaran tunda. Sebagai host, Sarah berhasil mengorek
informasi tentang kepenyairan seorang Rida K Liamsi. Sehingga informasi penting
mulai dari pengalaman, perkembangan,
tantangan dan keberlanjutan sastra ke masa depan dikupas secara tuntas.
Peristiwa
puisi dan dialog sastra di laman kata itu sudah lama berlalu. Tapi masih segar
dalam ingatan. Pesannya begitu kuat menembus dinding imajinasi. Diksinya sederhana, tapi sarat makna. Disitulah
kelasnya, orang yang katam, dewasa, malang melintang sangat memahami dan selalu
tampil menyesuaikan. Tidak salah lagi. Kepekaan dan naluri seorang maestro
tanpa disadari membaca beragam audience nya dengan jeli. Sehingga, untaian kata perkata yang tersusun dan
runut lalu menjadi kalimat tersampaikan
dan dipahami berbagai kalangan.
Penggagas,
sekaligus sebagai tuan rumah. Tarmizi pun tampil cemerlang. Jujur saja, sejak
lama penulis menginginkan narasinya dan kedewasaan sikapnya seperti malam itu. Dipastikan. Tidak ada satu patah kata pun dari
sang presiden Rumahitam Batam Berpuisi (RBB) berkeluh kesah. Penyair Rumahitam sekaligus
yang selalu berpakaian serba hitam yang kini nyambi jadi pengusaha (Tanjak) sukses
itu lebih banyak bertutur tentang ketegaran, ketunakan dan riuh rendahnya dalam membangun sebuah komunitas seni yang
secara resmi ia dirikan tahun 2000. Kisahnya pun menarik disimak. Cerita
tentang pasang surut sebuah komunitas, satu atau tiga orang pergi meninggalkan komunitas
dengan maksud mencari tatanan baru, dua bahkan tiga orang datang mendekat lalu bergabung
memberi spirit. Bongkar pasang itu tak dihiraukan alias mengalir begitu saja. Sebagai bukti, memasuki usianya yang tak lagi
muda, komunitas itu kini masih berdiri di kakinya sendiri. Tak pula bisa
dipungkiri, sesekali waktu benderanya berkibar gagah di angkasa. Sebaliknya
dibeberapa kesempatan, diakui ianya vakum beberapa saat, yang kemudian muncul
dengan gagasan-gagasan baru nan nakal.
Sekalipun
tidak rutin, apalagi terjadwal. Komunitas ini mendapatkan aparesiasi dari berbagai
kalangan. Geliat mereka ada efek kejutnya. Sebagai sebuah komunitas mereka
belum berhenti berkabar kepada masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan beberapa
kali mereka memproduksi dan mempertunjukan karya teater kontemporernya. Kecurigaan
penulis bisa jadi salah, namun tak pula sepenuhnya benar. Jauhnya interval
karya yang satu dengan berikutnya bukan disebabkan oleh mandegnya kreativitas,
melainkan lebih kepada faktor isi celengan yang terbatas. Berharap banyak
kepada pemerintah, bukan tidak bisa, tapi belum memungkinkan. Mengadu ke
swasta-pun, agaknya baru sebatas dilirik. Alasannya jelas, sampai setakat ini memang
kondisi seni pertunjukan kita saat ini masih bersifat non profit. Sedangkan
untuk memproduksi karya teater dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Akhirnya,
keinginan besar seniman dalam mengimajinasikan karyanya terkesan memonopoli. Mulai
dari naskah, kostum, musik, dana produksi sampai hal terkecil sekalipun terkesan
(harus) dikerjakan sendiri. Tentu saja kondisi seperti ini bukan pilihan
apalagi menyenangkan. Namun dipaksa oleh iklim berkesenian tadi.
Untuk
menjaga laman kata komunitas Rumahitam ini tetap eksis, dan telah pula tertera
dalam kalender mereka. Tarmizi menggagas kegiatan yang bertajuk Rumahitam Batam
Berpuisi (RBB). Yang mana pada bulan ini merupakan pesta yang ke 34 kalinya. Bagaimanapun irama ini yang mesti (selalu)
dijaga Tarmizi, sekaligus sebagai simbol ketunakan dan pertanggungjawaban terhadap
pilihannya sebagai seniman. Tidak banyak yang tau. Panggung RBB itu telah
membidani beberapa penyair muda berbakat di kota Batam. Bahkan beberapa
diantaranya terlihat serius, untuk menekuni dunia kepenyairan tersebut. Setidaknya
ini merupakan capaian yang patut juga di apresiasi oleh berbagai kalangan. Harapan (kita) pada komunitas ini, selalulah
berbuat sekalipun dalam kondisi yang mungkin sedikit sulit, karena tidak ada
jaminan, setelah berkecukupan baru konsisten dengan kesenian, teruslah berpikir
semampumu, berimajinasilah, dan tetap memberikan laman kepada kreator-kreator,
sehingga para pencari panggung memiliki wadah, dan ruang untuk menyajikan hasil
kontemplasinya.
***
Sengatan
Rida K Liamsi Yang Menginspirasi
Sekali
lagi peristiwa itu memang telah lama usai. Namun narasi sederhana Rida K Liamsi
sebagai peneraju utama ternyata sulit dihalau oleh waktu, buktinya sampai saat
ini masih saja lengket di pikiran saya yang ikut menyaksikan dan mendengar langsung. Di awal dialognya, penulis “kumpulan puisi
Tempuling” mengisyaratkan kalau sebagian besar karyanya terinspirasi dari
lingkungannya. Oleh karenanya ia merasa bersyukur karena tinggal disebuah
negeri yang dikelilingi oleh laut, karang, burung Camar, Elang dan segala
macamnya. Karena ini yang memberikan kekuatan padanya untuk menulis puisi. Kental
terasa, pesan yang hendak disampaikannya adalah spirit dan harapan serta
kepekaan seseorang seniman, ataupun penyair merupakan hal penting dalam
melahirkan sebuah karya. Karya yang baik, adi luhung sejatinya akan mampu melintasi zaman, seperti halnya gurindam
12 yang kini sudah berumur 150 tahun lebih.
Bahkan
Rida K Liamsi meyakini Kepulauan Riau akan
menjadi salah satu pusat kepenyairan Indonesia, sepanjang Bahasa Melayu
masih mampu memberi roh kepada kekuatan Bahasa Indonesia, sepanjang laut masih
bergelora, bernyanyi, sepanjang elang dan burung masih ada. Lagian kepenyairan
Indonesia itu tidak tumbuh dari pemerintah, kemudian penyairpun tidak bisa
diatur oleh pemerintah. Di zaman keterbukaan
ini, seharusnya menjadi momentum bagi generasi muda untuk melahirkan
gagasan-gagasan yang mewujud dalam bentuk karya.
Bagi
Rida K liamsi, menikmati kemerdekaan adalah dengan berbuat sesuatu untuk tanah
air ini. Misalnya dengan menulis. Buku adalah karya yang bisa melintasi zaman.
Siapapun yang menulis buku, berarti orang tersebut sudah menyumbangkan sesuatu
pada dunia. Namun tidak bagi karya yag cendrung lahir serba instan. Semisal
karya puisi yang dibuat melalui perenungan, biasanya ditulis dengan pilihan
kata-kata, lalu mencari momentum sehingga ada pada kekuatan diksi, serta kekuatan
kata. Magnitnya begitu kuat, sarat dengan pesan, sehingga pesan-pesan hebat itu
harus dilahirkan kembali untuk disampaikan kepada generasi lanjutan.
Dalam
karya sastra aspek keindahan dapat ditinjau dari dua hal yang berbeda, yaitu
dari segi bahasa dan keindahan itu sendiri. Dalam sastra, aspek pertamalah yang
mendapat perhatian lebih. Sebaliknya aspek yang kedua lebih banyak dibicarakan
pada karya seni yang lain seperti tari, musik, lukis dan lan sebagainya. Lalu
kenapa aspek bahasa mendapat perhatian lebih, tidak lain oleh karena bahasa
merupakan medium utama karya sastra.
Belajar
kepada Rida K Liamsi sang maestro bukanlah untuk mempelajari tekniknya, akan
tetapi untuk mendapatkan sengatannya, inspirasinya karena dalam ekpresi para
penyair, seniman ada akulturasi dengan
pengetahuan, pengalaman, perasaan yang akan sulit untuk diajarkan kepada
seseorang. Untuk itu diperlukan proses interaksi secara terus menerus. Membuat
ruang ekpresi yang kemudian menghasilkan imajinasi bagi penikmat pemula.
Jempol
untuk Komunitas Rumahitam. Ini Bukan pujian, tapi mencoba menelisik kembali apa
yang sudah dilakukan komunitas ini untuk kota dan masyarakatnya. Yakni dengan
mengupayakan ruang itu tak lagi bersekat,
pekat. Melainkan dibutuhkan celah untuk mengolah imajinasi yakni dengan selalu
berintraksi satu dengan yang lainnya. Sumpah. Dialog malam itu benar-benar
bernutrisi tinggi. Sebagai orang tari, saya merindukan penulis
Mahmud Sang Pembangkang kembali hadir di laman kata komunitas Rumahitam
itu. Terima kasih Pak Rida atas pencerahan dan sengatannya. Salam
santun. **
Izin promo ya Admin^^
BalasHapusBosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa x-)
- Telkomsel
- GOPAY
- Link AJA
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.COMPANY ....:)