Guru Seni : Antara Celah, Ruang & Strategi Kreatif



   Foto : Panitia Seminar dan Workshop Penciptaan Tari

MEREKA begitu senang-bangga. Apa lacur, kegiatan yang bertajuk Seminar dan Wokshop Penciptaan Tari yang digagas Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Seni Budaya Sekolah Menengah Atas (SMA) se kota Batam 16-18/01/2020 berjalan lancar, jika berlebihan disebut sukses.  Gagasan yang terperam lama itu, akhirnya terwujud. Panitia-pun dipaksa melunak pada peserta yang datang dimenit-menit akhir. Tak bisa dielak, dari 100 orang peserta yang direncanakan menyesuaikan  kondisi ruangan pelaksanaan workshop, bobol ke angka 120 orang. Di luar ekspektasi, para peserta tidak hanya datang dari kalangan guru SD, guru seni SMP, SMA dan SMK saja, melainkan juga mendapat tempat di hati para penggiat seni dan koreografer pemula di kota Batam. Jujur, keinginan besar mereka mengikuti seminar dan workshop penciptaan tari dengan tema “konvergensi pendidikan seni budaya menuju revolusi industri 4.0 patut di acung.
Gawe ini dibagi dalam dua sesi sekaligus dilaksanakan di dua tempat yang berbeda. Seminar pendidikan mengambil tempat di Aula SMA Negeri 3 Batam dengan nara sumber Prof. Juju Masunah, Skar., M.Hum., Ph.D guru besar Fakultas Pendidikan Seni dan Disain (FPSD) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Sedangkan workshop penciptaan tari di gedung Lembaga Adat Melayu (LAM) dengan menjemput koreografer fenomenal Indonesia   sekaligus dosen di Institut  Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, Dr. Susasrita Lora Vianti, S.Sn., M.Sn.
Tiga hari kegiatan berlangsung tanpa jeda. Ada kesan peserta seolah menemukan kegairahan, dan setumpuk ide yang berkecamuk di kepala. Kegiatan workshop yang berjalan dua hari itu memang tidak dalam rangka menjadikan mereka seorang koreografer handal. Melainkan lebih kepada usaha untuk menyuplai ilmu koreografi, selanjutnya bagaimana proses kreatif itu harus dilakukan kepada siswa. sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki bisa memberikan irama dan dinamika pembelajaran seni yang menggairahkan. Tidak ada pilihan lain, selain kemampuan dimiliki seorang guru dalam memberikan rangsangan terhadap siswa menjadi penting, lebih jauh guru harus berupaya melahirkan strategi pembelajaran sehingga imajinasi kreatif itu menyeruak di kalangan peserta didik.
Kesenian di sekolah (umum) pada dasarnya diarahkan untuk menumbuhkan kepekaan rasa estetik dan artistik sehingga terbentuk sikap kritis, apresiatif dan kreatif pada diri siswa secara menyeluruh. Sikap ini hanya mungkin dapat tumbuh jika dilakukan serangkaian proses kegiatan pada siswa yang meliputi kegiatan pengamatan, penilaian, serta penumbuhan rasa memiliki melalui keterlibatan siswa dalam segala aktivitas seni di dalam kelas dan atau di luar kelas.
Persoalan pembelajaran seni budaya di sekolah sangat kompleks. Karenanya, kepada para pengampu dituntut kepiawaian, guru seni budaya harus membuka celah, memberikan dan menciptakan ruang, lalu menyikapi dengan cerdas, yakni dengan strategi kreatif. Pada hakikatnya pembelajaran seni budaya diberikan disekolah karena keunikan, kebermaknaan, kebermanfaatan terhadap kebutuhan perkembangan peserta didik yang terletak pada pemberian pengalaman estetik, dalam bentuk kegiatan berekspresi, berkreasi dan berapresiasi melalui pendekatan “belajar dengan seni”, “belajar melalui seni”, dan “belajar tentang seni”. Usaha ini yang harus menjadi perioritas bagi guru seni budaya di sekolah. Sehingga mata pelajaran yang oleh kebanyakan orang “dianggap tidak penting ini” telah mewujud menjadi sebuah kebutuhan bagi siswa dalam usaha pembentukan karakter.
Usaha konprehensif dalam melakukan advokasi pembelajaran seni di berbagai sekolah yang ada di Kepulauan Riau kiranya mendesak dilakukan bahkan tidak menutup kemungkinan juga Indonesia. Masalah “keterabaian” atau “keterpinggirkan” merupakan satu persoalan seringkali dikeluhkan guru. Dianggap tidak penting merupakan keluhan yang acapkali muncul. Mirisnya lagi, dibeberapa kasus, seolah-olah mata pelajaran seni budaya terkesan sebagai beban kurikulum.
Sulit pula disangkal. Di waktu dan moment tertentu, mata pelajaran ini mendadak penting, karena sekolah diwajibkan mengikuti Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) misalnya. Mengikuti FLS2N di banyak sekolah juga tidak berjalan mulus, tersebab dibeberapa cabang lomba memerlukan banyak biaya. Maka tak heran, beberapa diantaranya guru seni sebelum memutuskan ikut, merasa terintimidasi dengan kalimat pimpinannya yang mungkin tanpa disengaja, berujar “pikirkan cabang lomba  yang pantas dan punya kemungkinan besar untuk menang”. Tanpa disadari, kalimat ini menjadi tekanan bagi guru seni untuk berimajinasi. Dikerjakan takut gagal. Tidak diikuti, sementara event tahunan ini menjadi primadona bagi siswa seantero negeri. Tak bisa lagi dipungkiri, kehadirannya jelas-jelas ditunggu, tidak hanya oleh siswa saja melainkan guru seni itu sendiri. Ini adalah contoh satu kasus dari sekian banyak problem yg dihadapi guru seni di sekolah. Dilema bukan?.
Minimnya wawasan pengetahuan dan pemahaman tentang tujuan dan manfaat mata pelajaran pendidikan seni di sekolah, serta kurangnya pedoman  untuk dibuat acuan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, telah menjadi momok para pendidik di sekolah umum dalam hal ini guru kesenian. Bersumber dari beragamnya persoalan, maka gagasan ini dihadirkan. Tentu dengan harapan,  lahirnya kegiatan seminar dan workshop penciptaan tari ini diharapkan mampu menjadi benang merah bagi guru untuk lebih memahami dan menerapkannya di sekolah masing-masing. Hanya dengan pemahaman yang baik, konsep pendidikan seni budaya bisa di ketengahkan dengan baik pula.
                                                                   ***
Cultural Identity, Multicultural dan Penguatan Karakter
Tak bisa disangkal. Pelajaran seni budaya di sekolah memiliki peran strategis dalam pendidikan untuk mencapai keterampilan abad 21 yaitu pemikiran kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi. Empat keterampilan ini merupakan softskill yang sangat diperlukan di Era Revolusi Industri 4.0.
Prof. Juju Masunah dalam pemaparannya mengatakan bahwa tujuan pendidikan seni budaya semakin bervariasi sesuai dengan tuntunan jaman. Di era glabalisasi dimana batas-batas budaya semakin tipis, maka pendidikan seni budaya diarahkan untuk penguatan identitas budaya (cultural identity) dan menghargai keberagaman (multicultural), serta penguatan karakter.  Lebih jauh, Profesor tari tersebut mengatakan di Era Revolusi Industri 4.0 dimana teknologi dan industri merupakan bagian dari kehidupan, maka tujuan dan manfaat pendidikan seni budaya diarahkan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi yang dapat didorong untuk industri kreatif yaitu menghasilkan produk yang berbasis kreativitas, keahlian, dan bakat individu agar diperoleh nilai tambah secara sosial, budaya, dan ekonomi.
Sedangkan Dr. Susasrita Lora Vianti lebih menguliti proses kreatif. Membentuk seni yang kreatif memang tidak mudah, karena bentuk kerja mereka adalah berbentuk kolektif. Pencipta seni harus mampu memadukan unsur-unsur yang terlibat dalam satu kesatuan yang utuh. Dalam hubungannya dengan pengisi ruang kreativitas, guru merupakan tonggak utama yang harus sensitif dan kreatif. Kemampuan sensitivitasnya bisa menangkap tema untuk dikembangkan menjadi sesuatu yang baru (redefinition) secara sepenuhnya dan dengan kreativitasnya sanggup mereproduksi kembali tangkapan dengan baik, kaya, kena dan penuh elaborasi detil yang tepat. Demikian Koreografer wanita tersebut dalam paparan panjangnya kepada peserta workshop penciptaan tari.
Dipenghujung tulisan ini, Prof. Juju Masunah mengutip Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan musik mengajarkan rasa kebatinan, rasa estetis, dan etika, sedangkan pembelajaran tari mengajar pangkal kesopanan dan keadaban (moral), dan keteraturan. Sejalan dengan itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Nadiem Makarim) mengatakan, bahwa softskill tidak akan lengkang dengan waktu dan adaptif di setiap jaman.
Harapan terbesarnya adalah, para peserta yang terdiri dari guru-guru seni budaya,  diharapkan mampu dan tercerahkan sehingga punya keberanian untuk berbuat, mengelaborasi lalu berimajinasi. Melengkapi tuntutan kreativitas tersebut, tentu seorang guru dalam mengembangkan pembelajaran mesti memahami siswa. Dalam memahami siswa, guru mesti memiliki kepekaan terhadap latar belakang sosial budaya siswa yang beragam dan karakrteristik. Pesan tegas yang hendak disampaikan adalah alat ukur dari kemampuan akademik tidak hanya dari mata pelajaran tertentu, saja. Melainkan seni budaya juga punya andil besar dalam upaya meningkatkan intelektual siswa. 
Dipenghujung tulisan ini panitia menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada Dr. Muhd Dali, MM (Kadisdik Provinsi Kepulauan Riau), Hendri Arulan, S.Pd (Kadisdik kota Batam) atas laluan dan bantuannya, sehingga kegiatan yang digagas MGMP Seni Budaya SMA Kota Batam bisa dilaksanakan. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada Leo Anggara (anggota Komisi II DPRD kota Batam), Syarifah Silvia Andriyani, S.Pd., MM selaku koordinator MGMP Seni Budaya yang tidak mengenal penat dalam memberikan support pada panitia. Kepada panitia, kita tidak mengatakan kegiatan yang ditaja oleh MGMP Seni Budaya ini kegiatan yang luar biasa, namun setidaknya kita telah mencoba untuk membuat wadah sebagai laman untuk bertukar informasi sekaligus meng update ilmu yang kita miliki untuk disesuaikan dengan kekinian. 
Alhamdulillah. Sesuai ekspektasi kita, Prof. Juju Masunah dan Dr. Susasrita Lora Vianti telah menyuplai ilmunya dengan metoda dan narasi yang baik sehingga kita sekaligus peserta merasa tercerahkan. SEMOGA. (Tulisan ini dimuat di Tanjung Pinang Post, 26 Januari 2020).

Belum ada Komentar untuk "Guru Seni : Antara Celah, Ruang & Strategi Kreatif"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2