Mengenal Jenis Teater Tradisional Indonesia
Foto : Lipuan 6.com
Bagi
bangsa Indonesia, saling kenal antar suku bangsa adalah suatu keharusan agar
bersama kita dapat menuju ke persatuan bangsa yang kukuh. Untuk menuju kearah
saling kenal yang benar maka yang perlu dikembangkan adalah komunikasi
inter-subjek secara lintas suku bangsa. Kata kuncinya adalah “anjangsana (budaya)”
dan “berbagi (dalam penikmatan seni)”.
Teater
tradisi di Indonesia misalnya. Berbagai suku bangsa memiliki warisan budayanya
yang khas. Akan tetapi perlu disadari bahwa tidak semua suku bangsa Indonesia
memiliki bentuk pertunjukan teater dalam batasan yang ketat, yaitu suatu sajian
pertunjukan yang melakonkan cerita melalui pemeran-pemeran. Jika batasan teater
diperluas sehingga meliputi juga apa yang disebut sebagai “teater tutur”, yaitu
penyajian naratif suatu cerita, sudah tentu dengan berbagai gaya melantunkannya
maka lebih banyak suku bangsa yang mempunyai suatu bentuk ungkap teater
tradisional. (Edi Sediawati, 2014:517).
Lebih
jauh Edi Sediawati menjelaskan bahwa gaya ungkap masing-masing tradisi teater
dari berbagai suku mempunyai kekhasannya tersendiri. Kekhasannya itu dapat kita
lihat pada berbagai unsur gaya ungkapnya, seperti: tata kebahasaan dalam dialog
dan narasi, kostumnya, tata geraknya, serta tata bunyinya baik yang berkenaan
dengan music instrumental, music vocal,
maupun kaidah-kaidah bersuara dalam dialog dan narasi. Di dasar aspek-aspek
gaya ungkap tersebut bisa terdapat kaidah-kaidah penuntun sistemis yang
bersifat umum, seperti: (a) penggolongan tipe peran; (b) aturan tata urut
adegan demi adegan; dan (c) Bahasa khusus dengan segala kaidah penggunaannya.
Pertunjukan
teater tradisional pada masa lalu tidak bisa dilakukan pada sembarang tempat
dan waktu. Harus dipertunjukkan atas suatu maksud dan alasan yang berhubungan
dengan sistem kepercayaan yang ada. Tidak mengherankan, pertunjukan teater
tradisional ketika itu tidak dapat dikemas sesuai kehendak penonton atau
kelompok teater tersebut. Setiap jenis teater tradisional mempunyai ketentuan
permainan tertentu. Dalam kata lain, teater tradisional terikat oleh sistem
kepercayaan.
Berdasarkan hal itu,
bentuk-bentuk teater tradisional di bumi Nusantara ini sangat beragam, baik
penyajian maupun fungsinya. Secara umum, teater tradisional memiliki ciri-ciri
khas sebagai berikut: (1) lakon/ceritanya tidak tertulis, (b) media
pengungkapannya berupa dialog, tarian, dan nyanyian, (c) akting bersifat
spontan, (d) dialog dilakukan secara improvisasi, (e) dalam pertunjukan selalu
terdapat unsur lawakan, (f) umumnya menyertakan iringan musik tradisional, (g) penonton
mengikuti pertunjukan secara akrab dan santai, bahkan dapat berdialog langsung
dengan pemain, (h) bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah setempat, dan (i)
umumnya menggunakan tempat pertunjukan terbuka berbentuk arena (dikelilingi)
penonton.
a. Makyong
Mak Yong adalah
seni teater tradisional masyarakat Melayu yang sampai sekarang masih digemari dan
sering dipertunjukkan sebagai dramatari dalam
forum internasional. Di zaman dulu, pertunjukan mak yong diadakan orang desa di
pematang sawah selesai panen padi. Dramatari mak
yong dipertunjukkan di negara bagian Terengganu, Pattani, Kelantan, dan Kedah. Selain itu,
mak yong juga dipentaskan di Kepulauan Riau Indonesia. Di Kepulauan Riau,
mak yong dibawakan penari yang memakai topeng, berbeda dengan di Malaysia yang
tanpa topeng.
Pertunjukan mak
yong dibawakan kelompok penari dan pemusik profesional yang menggabungkan
berbagai unsur upacara keagamaan, sandiwara, tari, musik dengan vokal atau instrumental,
dan naskah yang sederhana. Tokoh utama pria dan wanita keduanya dibawakan oleh
penari wanita. Tokoh-tokoh lain yang muncul dalam cerita misalnya pelawak,
dewa, jin, pegawai istana, dan binatang. Pertunjukan mak yong diiringi alat
musik seperti rebab, gendang, dan tetawak.
Mak yong adalah seni teater tradisional yang menarik
untuk disaksikan karena menggabungkan berbagai unsur di dalamnya yaitu agama,
adat Melayu, sandiwara, gerak tari, syair lagu, vokal, instrumental
tradisional, serta naskah sederhana namun memikat. Sejak dahulu mak yong
dipentaskan di desa-desa sekitar pematang sawah seusai panen padi. Pihak
kerajaan juga akan mementaskannya secara khusus dengan mengambil pelakon
terbaik dari desa-desa.
Teater khas Melayu ini mementaskan tokoh utama pria
dan wanita tetapi justru dibawakan penari wanita dengan memakai topeng. Ada
juga tokoh lain dalam cerita seperti munculnya pelawak, dewa, jin, pegawai
istana, dan binatang. Semua tokoh yang dimainkan pria memakai topeng yang
disesuaikan dengan wataknya.
Pementasan makyong menyuguhkan iringan alat musik
rebab, gendang, dan tetawak yang harmonis terdengar. Akan didendangkan juga
lagu-lagu merdu Melayu, yaitu: Betabik, Awang Bejalan, Jalan Masuk, Cik
O‘oi, Bunga Kuning, Gemalai, Gendang Tinggi, Lagub Rancak, Lenggang Tanduk,
Timang Welo, Adik Itam, Colak, Lagu Sabuk, dan Ratap.
Sementara itu, cerita yang disajikan dalam pementasan makyong sebagian besar
berasal dari warisan tukang cerita istana.
Untuk mementaskan makyong tidak menuntut properti,
dekorasi, atau layar untuk pergantian babak. Makyong seringnya dipentaskan di
lapangan terbuka namun tetap diberi atap menggunakan bubungan dengan enam buah
tiang penyangga dan pada kayu yang melintang dihiasi daun kelapa muda. Bila
dimainkan di istana, makyong dipentaskan di panggung beton berbentuk segi enam.
Sebelum pementasan biasanya akan dipilih tempat
yang tepat untuk pertunjukan makyong. Seorang ketua panjak (bomo) akan
melakukan serangkaian upacara sebelum pementasan berupa pengasapan pada seluruh
alat pementasan, yaitu: gendang penganak, gendang pengibu, tawak-tawak, mong,
geduk-geduk, canang, serunai, dan rebab. Selanjutnya bomo akan
menanam sebutir telur ayam, segenggam beras basuh, segenggam beras kuning,
bertih, sirih sekapur, dan sebatang rokok daun nipah. Ia juga akan menaburkan
beras basuh (bertih) ke sekeliling tempat bermain, sambil membacakan
mantra diiringi bunyi musik berirama magis.
Pementasan makyong terbilang ber-alur lambat dengan
cerita bersambung terus selama lima malam, bahkan kadang sampai tujuh malam.
Pertunjukan makyong biasanya dimulai setelah Isya dan akan berakhir menjelang
Subuh. Dalam pertunjukannya pelakon berjalan dengan gerak tari sederhana yang
menggambarkan wataknya. Misalnya seorang wanita pemeran Pakyong harus
memperlihatkan gerakan yang cekatan untuk menggambarkan bahwa dirinya seorang
pria.
Makyong mengalami kejayaannya pada masa keemasan
kesultanan Riau-Lingga tahun 1950-an. Pada masa kejayaannya ini Makyong pernah
dianggap sebagai kesenian istana. Di Kepulauan Riau masa
lalu, makyong ditemukan di dua tempat, yaitu di Tanah Merah dan di Mantang
Arang. Di Tanah Merah dipimpin oleh Embak Tanah Merah; di Rempang dan Sembulang
dipimpin oleh Niah; dua kelompok di Kasu masing-masing dipimpin oleh Minah
Kekap dan Mat Darus; dan di Dompak dipimpin oleh Emak Empak. Sementara di
Mantang Arang masing-masing dipimpin oleh Hasan, Ni Poso, Tongkong, Botak, Ungu
Mayang, Awang, Begoh, dan Khalid. Kelompok yang masih ada hingga sekarang hanya
Makyong Mantang Arang yang dipimpin Bapak Khalid Kasim. Sebagian besar anggota
kelompok ini sudah berusia lebih dari setengah abad.
Makyong yang terancam punah masih banyak di Keke
Kijang dan Mantang Arang. Untuk menikmati teater ini Anda juga dapat
menyambangi Kijang (Bintan Timur), Rempang atau Sembulang, Dompak, Kasu,
Pulau Buluh, dan Cate (daerah pinggiran Pulau Batam). Penikmat teater ini lebih suka datang ke tempat
pertunjukannya langsung. Makyong kini terus dipopulerkan dan diperbaharui
sesuai zamannya dan melengkapi kekayaan budaya di Kepulauan Riau.
b.
Mendu
Foto : https://www.google.com/
Mendu adalah sebuah kesenian yang menyebar ke berbagai tempat di
daerah yang disebut sebagai Pulau Tujuh, yakni: Bunguran Timur (Ranai dan
Sepempang), Siantan (Terempa dan Langi), dan Midai di Natuna Provinsi Kepulauan
Riau. Mendu adalah seni pertunjukan yang unik. Keunikannya adalah cerita yang
dimainkan tanpa naskah, sehingga para pemain harus hafal benar alur ceritanya
di luar kepala. Dialog-dialognya disampaikan dengan tarian dan nyanyian yang
diiringi dengan musik yang khas, gabungan dari bunyi gong, gendang, beduk,
biola, dan kaleng. Sementara itu,lagu-lagu yang dinyanyikan adalah: Air Mawar,
Jalan Kunon, IlangWayat, Perang, Beremas, Ayuhai, Tale Satu, Pucok Labu,
Sengkawang, Nasib,Numu Satu Serawak, Setanggi, Burung Putih, Wakang Pecah, Mas
Merah, Indar Tarik Lembu, Numu Satu, Lemak Lamun, Lakau, dan Catuk. Sedangkan
tarian-tariannya adalah: Air Mawar, Lemak Lamun, Lakau, Ladun, Jalan Runon, dan
Baremas.
Cerita yang dimainkan
adalah Hikayat Dewa Mendu yang diangkat dari cerita rakyat masyarakat Bunguran-Natuna.
Cerita itu terbagi dalam tujuh episode. Ketujuh episode tersebut sebagai
berikut.
1. Episode pertama, menceritakan
kehidupan di kayangan dan turunnya Dewa Mendu dan Angkara Dewa ke dunia yang
fana.
2. Episode kedua, menceritakan
berpisahnya Dewa Mendu dengan Siti Mahdewi akibat perbuatan jin jahat yang
diutus oleh Maharaja Laksemalik.
3. Episode ketiga, menceritakan
perjalanan Siti Mahdewi, kelahiran anaknya yang kemudian diberi nama Kilan
Cahaya, dan perjumpaannya dengan Nenek Kabayan
4. Episode keempat, mengisahkan tentang
perjalanan Dewa Mendu yang kemudian sampai di sebuah kerajaan yang
rajanya bernama Bahailani
5. Episode kelima, menceritakan
perjalanan Dewa Mendu ke sebuah kerajaan yang rajanya bernama Majusi.
6. Episode keenam, menceritakan
perjalanan Dewa Mendu ke sebuah kerajaan yang rajanya bernama Firmansyah
7. Episode ketujuh, mengisahkan
bagaimana Dewa Mendu bertemu dengan Kilan Cahaya yang diawali dengan
perkelahian antarkeduanya. Cerita Dewa Mendu ini dapat dimainkan dalam beberapa
versi, namun inti ceritanya tetap sama.
Tokoh-tokoh dalam seni pertunjukan Mendu, di samping Dewa Mendu
adalah: Angkara Dewa, Siti Mahdewi, Maharaja Laksemalik, Kilan Cahaya, Nenek
Kebayan, Raja Bahailani, Raja Majusi, Raja Firmansyah, Raja Beruk, dan
tokoh-tokoh pendukung lainnya yang jenaka seperti Tuk Mugok dan Selamat Salabe.
Kedua tokoh ini seperti tokoh Punakawan dalam pewayangan yaitu sebagai humoris
dalam cerita Mendu. Oleh karena itu, mereka menjadi bagian yang penting dan
sangat disenangi oleh penonton. Bahasa yang dipergunakan dalam berdialog adalah
bahasa Mendu dan bahasa Melayu sehari-hari masyarakat pendukungnya. Bahasa
Mendu digunakan oleh para tokoh utama, sedangkan bahasa Melayu sehari-hari
digunakan oleh tokoh-tokoh lainnya, seperti: jin, dayang, dan peran pembantu
lainnya.
c. Randai
Foto : Dictio.id
Randai adalah
salah satu permainan tradisional di Minangkabau yang dimainkan secara
berkelompok dengan membentuk lingkaran, kemudian melangkahkan kaki secara perlahan,
sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian.
Randai menggabungkan seni lagu, musik, tari, drama dan silat menjadi satu.
Randai dipimpin
oleh satu orang yang biasa disebut panggoreh, yang mana
selain ikut serta bergerak dalam legaran ia juga
memiliki tugas yaitu mengeluarkan teriakan khas misalnya hep tah tih yang
tujuannya untuk menentukan cepat atau lambatnya tempo gerakan seiring dengan
dendang atau Gurindam. Tujuannya agar Randai yang dimainkan terlihat
rempak dan seirama. Biasanya dalam satu group Randai memiliki satu panggoreh yang
dipercayai oleh seluruh anggota tim, tetapi bisa digantikan oleh rekan tim
lainya apabila panggoreh sebelumnya kelelahan, karena untuk menuntaskan satu
cerita Randai saja bisa menghabiskan 1 hingga 5 jam bahkan lebih.
Cerita randai
biasanya diambil dari kenyataan hidup yang ada di tengah masyarakat. Fungsi
Randai sendiri adalah sebagai seni pertunjukan hiburan yang didalamnya juga
disampaikan pesan dan nasihat. Semua gerakan randai dituntun oleh aba-aba salah
seorang di antaranya, yang disebut dengan janang.
Randai dalam
sejarah Minangkabau memiliki sejarah yang lumayan panjang. Konon kabarnya ia
sempat dimainkan oleh masyarakat Pariangan, Tanah
Datar ketika mesyarakat tersebut berhasil menangkap rusa yang keluar dari laut. Randai dalam
masyarakat Minangkabau adalah suatu kesenian yang dimainkan oleh beberapa orang dalam
artian berkelompok atau beregu, di mana dalam Randai ini ada cerita yang
dibawakan, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun
Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya.
Randai ini
bertujuan untuk menghibur masyarakat yang biasanya diadakan pada saat pesta
rakyat atau pada hari raya Idul Fitri. Randai pada saat sekarang digunakan dalam acara
adat atau pesta Rakyat yang dapat menghibur Dan melepas penat Dari pekerjaan.
Dan berkumpul dengan keluarga serta menyaksikam pertunjukan randai oleh anak
Nagari Pada awalnya Randai adalah media untuk menyampaikan kaba atau cerita rakyat melalui gurindam atau syair yang didendangkan dan galombang (tari)
yang bersumber dari gerakan-gerakan silat Minangkabau. Namun dalam perkembangannya,
Randai mengadopsi gaya penokohan dan dialog dalam sandiwara-sandiwara, seperti
kelompok Dardanela.
Randai ini
dimainkan oleh pemeran utama yang akan bertugas menyampaikan cerita, pemeran
utama ini bisa berjumlah satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih
tergantung dari cerita yang dibawakan, dan dalam membawakan atau memerankannya
pemeran utama dilingkari oleh anggota-anggota lain yang bertujuan untuk
menyemarakkan berlansungnya acara tersebut.
c.
Ketoprak
Ketoprak adalah jenis
teater yang lahir dan berkembang di Yogyakarta sekitar 1925-1927. Ketoprak
awalnya dikenal dengan nama Ketoprak Ongkek atau Ketoprak Barangan yang hampir
setingkat dengan ngamen. Alat-alat musik pengiringnya terdiri atas kenong,
gendang, terbang, dan seruling. Biasanya, teater ini dilakukan dengan menari,
berjoget disertai nyanyian dan dialog-dialog dalam bahasa Jawa sehari-hari.
Pentasnya di tempat terbuka atau di dalamruangan, bahkan dipentaskan pula
dilingkungan keraton. Lakon yang dibawakan merupakan cerita rakyat dan
kisah kepahlawanan. Pementasan ketoprak menggunakan unsur lawakan atau
dagelandisertai dengan tarian atau gerakan yang sederhana serta waktu
pertunjukannyasingkat.
d. Wayang Orang
Wayang orang atau
disebut juga wayang wong adalah ceritayang mengambil lakon dalam kisah
pewayangan (wayang purwa /wayang kulit). Kisah yang diambil seputar cerita
Mahabarata dan Ramayana versi Jawa (ringgit purwa). Dipentaskan dengan pemeran
orang-orang dewasa dan disajikan dengan gerakan tari. Tata rias dan tata busana
dalam teater ini bersifat mengikat dan harus disesuaikan dengan pakem dalam
pewayangan.
Wayang orang disebut
juga kesenian tradisional multimedia karena merupakan gabungan dari seni-seni
yang lain seperti seni sastra (naskah/cerita), musik (gamelan dan tembang),
drama (dialog dan akting), tari (tarian dan gerakan), serta seni rupa (properti,
busana, panggung, dan tata rias). Wayang wong ditemukan oleh Sultan
Hamengkubuwono I (1755-1792) ataupun Mangkunegara I (1757-1795). Keraton
menganggap bahwa wayang orang selain sebagai hiburan juga sebagai bagian ritual
kenegaraan, seperti upacara pernikahan, khitanan, dan penyambutan tamu. Wayang
orang mengalami masa gemilang pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono
VII (1921-1939) yang menghasilkan sebelas pementasan wayang orang. Pertunjukan
ini dipentaskan secara maraton selama tiga sampai empat hari dengan melibatkan
sekitar 300-400 penari pria.
e. Ludruk
Ludruk adalah
kesenian khas rakyat yang berasal dari Jawa Timur berbentuk sandiwara (drama)
yang dipertontonkan dengan menari dan menyanyi yang dipentaskan di tempat
terbuka atau di dalam ruangan. Keunikan lain dari ludruk adalah semua pemainnya
adalah pria, termasuk peran wanita. Ludruk diawali dengan tarian yang ditarikan
sambil bernyanyi yang disebut tari Ngremo.
f. Reog
Reog adalah seni
tradisional yang merupakan hiburan rakyat dan dipertontonkan dalam bentuk
tarian di tempat terbuka. Seni ini mengandung unsur magis. Penari utamanya
adalah orang yang mengenakan hiasan topeng berkepala singa dengan hiasan bulu
merak yang mengembang ke atas seperti kipas berukuran besar. Pemain lain adalah
beberapa penari bertopeng dan berkuda lumping yang semuanya laki-laki yang
biasanya mengenakan baju khas Jawa dan berkaos loreng (putih dengan strip
horizontal berwarna merah). Tontonan tradisional ini bersifat humor (jenaka)
yang mengandung sindiran atau plesetan terhadap situasi dan kondisi masyarakat.
g. Lenong
Lenong adalah jenis pertunjukan
sandiwara yang berasal dari Betawi (Jakarta) yang dipentaskan dengan iringan
gambang kromong. Dialognya menggunakan dialek Betawi serta diselingi dengan
lawakan dan adegan silat.
Sumber : Kebudayaan di
Indonesia (Edi Sediawati), https://id.wikipedia.org/wiki , https://ruangsekolahku.blogspot.com/2016,
dan https://eldikinanda5.blogspot.com
Belum ada Komentar untuk "Mengenal Jenis Teater Tradisional Indonesia"
Posting Komentar