Mengintip Parade Tari Nusantara Di TMII Jakarta: Antara Tradisi, Ekpresi dan Imajinasi
TIDAK bisa
disangkal lagi, ajang kompetisi tari (bergengsi) tingkat Nasional ke-38
yang digagas Taman Mini Indonesia Indah (TMII) masih menjadi primadona bagi
para peserta. 23 karya tari baru hasil komtemplasi koreografer pilihan dari
berbagai provinsi di Indonesia menggeliat di panggung Teater Garuda TMII (10/8)
yang lalu. Ditinjau dari kwantitas, memang menurun dari tahun sebelumnya, namun
secara kwalitas, helat tahunan ini membuat para pengamat berdecak kagum, mereka
bangga, karena menu parade tari tahun ini dirasakan lebih bernas dan kaya nutrisi.
Komposisi pengamat tahun ini pun menarik,
untuk dicermati. Barangkali luput dari
amatan banyak orang, kalau saat ini panitia mencoba menyelaraskan tuntutan
kekaryaan yang semakin dinamis. Jika boleh dikategorikan, komposisi Wiwik
Sipala dan Ertis Yulia Manikam adalah perwakilan generasi yang sudah matang,
katam, kenyang, malang melintang di
panggung pertunjukan. Kemudian disandingkan dengan dua sosok muda mewakili
milenial yang ‘nakal’, enerjik, dan brilian. Sosok muda itu Eko Supriyanto
koreografer fenomenal Indonesia. Melengkapi asupan gizi wilayah jelajahnya, dua
program doktoral yakni kajian dan penciptaan diselesaikan di Universitas Gajah
Mada (UGM) Jogjakarta, dan Insitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Di susul
koreografer Alfiyanto yang setakat ini masih terus berinovasi melahirkan
gagasan-gagasan. Pendiri Wajiwa Bandung Dance Theater dan Rumah Kreatif yang
berbasis etnoekkultural ini. selain menggagas berbagai forum tari,
karya-karyanya pun dirasakan semakin menggigit dan tajam. Sedangkan sosok Frans
Sartono, berbekal pengalamannya yang mumpuni di bidang liputan seni budaya
termasuk tari, dianggap bisa memberikan keseimbangan sekaligus mengawal dua
generasi tadi. Asumsi ini bisa salah, tapi tidak pula semuanya benar. Patut diapresiasi, keterwakilan dan
kolaborasi dua generasi itu selain dirasakan pas, juga dibutuhkan untuk
membedah karya peserta parade yang sudah berjalan tiga dasawarsa itu.
Tradisi
berubah karena tidak pernah bisa memuaskan
seluruh pendukungnya. Meskipun demikian tradisi tidak berubah dengan
sendirinya, tetapi memberi peluang untuk diubah dan membutuhkan seseorang untuk
melakukan perubahan. (Edward Shils, dalam makalah Sal Murgiyanto). Tari dan perkembangannya saat ini adalah
bentuk seni yang terus bergerak dinamis
sesuai tuntutan zamannya. Perubahan dan kemajuan itu sulit dihambat, karena
disokong oleh koreografer yang selalu bergerilya di medan kreatif dan teknologi
yang selalu berinovasi tiada henti. Indikasinya, beragam gaya terus
menyeruak, memudar lalu perlahan
menghilang, lalu muncul (lagi) tradisi (bentuk-bentuk) baru. Sekali lagi
pergerakan dan perkembangan tari dan unsur pendukung lainnya dirasakan terus
bergelora.
Satu
catatan penting, perlu mendapat perhatian serius, yaitu koreografer tidak hanya
sekedar fokus dalam menyusun dan merangkai gerak sekaligus disain lantainya
saja, lalu mengabaikan detail-detail gerak. Kalau ini terjadi, tidak heran jika ada gejala bahwa susunan
tari suatu daerah bisa menjadi sangat mirip dengan karya yang lainnya, hal ini
dikarenakan adanya proses meniru dan asal baru, atau saling mengambil, dan mencomot
mentah-mentah. Hal ini dimungkinkan karena dirangsang oleh pertemuan dalam
berbagai forum dan ajang festival, tidak terkecuali hajatan yang digagas TMII
ini. Beruntunglah, kecurigaan tersebut tidak terbukti sepenuhnya, jika pun ada,
tidak lebih dari sebuah kekilafan dan kecelakaan ekplorasi yang tidak
dielaborasi lebih jauh.
Untuk
menjadikannya akar, pijakan karya, penata tari perlu memahami, menyelami
tradisinya lebih jauh, melebihi sekedar memilih dan memanfaatkan gerak-gerak
yang dibutuhkan saja. Penata tari
mestinya tidak memposisikan tradisi sebagai benda mati. Tradisi itu lentur,
tumbuh dan berkembang sesuai dengan tempat dan masanya. Kepiawaian para kreator
akan terlihat dari begaimana usaha, strategi yang dilakukan sehingga dialog
tradisi dengan modern akan memunculkan karya yang berkelindan di panggung.
Ruang dan kesempatan itu terbuka luas, oleh karena penata tari memiliki
kebebasan dalam memilih dan menginterpretasikan melalui tubuh-tubuh yang
terlatih tentunya.
Bernas
yang disampaikan PLH. Direktur Penelitian Pengembangan Budaya TMII, Sigit Gunarjo, meskipun parade tari ini
bersifat kompetitif, namun semangat utama dari penyelenggara acara ini adalah
sebagai ajang selebrasi dan silaturahmi budaya yang diwakili oleh karya para
koreografer. Bertemunya sekian banyak karya dalam satu panggung, maka disinilah
terbuka kesempatan untuk saling menyapa, saling mengamati, saling belajar, dan
juga saling mengukur sampai dimana tingkat capaian kita dalam karya tari,
walaupun kompetitif, bukan berarti dipertandingkan melainkan dipersandingkan.
Piala Bergilir TMII Tahun 2019, Untuk DKI
Jakarta
Pantas
dipuji. Memasuki usianya yang tidak lagi muda, kegiatan sekelas parade tari
Nusantara yang digagas TMII, masih bertahan dan menjadi salah satu alat ukur
bagi penata tari muda Indonesia. Kesetiaan TMII meski mendapat apresiasi lebih
dari berbagai kalangan, tidak terkecuali pemerintah dan seniman (tari) itu
sendiri. Hingga kini, wadah tersebut hadir
guna mengasah kemampuan dan kepiawaian koroegrafer dalam mengolah gagasan.
Tidak hanya koreografer, menelisik kembali tubuh sebagai bahasa ungkap yang
merupakan aspek penting dalam tari.
Tidak saja untuk kepentingan artistik, tetapi tubuh mesti hadir sebagai
ekspresi yang merekam berbagai peristiwa dan harapan sekaligus.
Alfiyanto,
sesaat jelang pembacaan keputusan dewan juri memuji koreografer dalam hal
pencarian gagasan serta semangatnya untuk berbuat. Namun tergelitik untuk
menyoroti keberadaan tubuh sebagai media ungkap. Hal ini dirasakan pada
keinginan koreografer untuk bercerita tuntas tentang tema yang diusung.
Akhirnya, karya tari yang enak di awal, seterusnya terjerembab ke bahasa
verbal.
Sementara
seniman kawakan Wiwik Sipala menyoal tentang musik. Menurutnya, ada peningkatan
pemahaman, bagaimana memberikan musik pada tari tidak hanya sebagai pengiring,
akan tetapi sudah mampu membangun suasana setiap adegan dalam konsep karya.
Tinggal bagaimana mempertajam pemahaman tentang warna bunyi dari instrument dan
juga mempertimbangkan alat musik mana yang digunakan untuk membangun suasana
yang diharapkan. Selain itu yang menggelitik maestro tari ini, adalah
keberadaan properti dalam tari diakuinya penting, akan tetapi sebaiknya perlu
dibatasi, sehingga eksplorasi tubuh menjadi yang utama dalam konsep garap.
Sejalan
dengan Wiwik, dan Alfiyanto. Eko Supriyanto memberikan penegasan, bahwa tari
adalah ekspresi tubuh. Ekpresi tubuh itu menjadi sebuah imajinasi bukan
menjadikan sebuah keinginan. Dibilang ‘bukan’, karna bahasa tubuh itu sudah
puitis. Untuk itu penata tari harus mencari stetegi lain supaya ekpsresi bisa
menjadi imajinatif yang netral, dalam artian tidak ada konteks dipaksakan untuk
dimengerti oleh penonton. koreografer tidak harus memaksakan kepada penonton
apa makna yang diungkapkan dari gerak.
Di
akui, garapan yang tampil di Teater Garuda ketika itu (memang) ada yang siap
dan matang, namun tak bisa pula dipungkiri dibeberapa karya dirasakan masih
dangkal. Sekali tiga uang, para pengamat, merasakan di menit-menit awal garapan
berjalan sukses, namun kehilangan arah ditengah dan gagap dibagian akhir,
seperti munculnya jeritan, ada drama untuk menyampaikan keinginan penata kepada
penonton dengan harapan antara keinginan pekarya dengan penonton ini
berimajinasi sama. Hal ini tidak perlu dilakukan oleh penata tari, tapi biarlah
imajinasi penonton bergerak liar tentang ekspresi yang dilahirkan penari di
atas panggung.
Agaknya
harapan yang diinginkan pengamat ketika itu sebagian besar didapatkan pada
karya tari “Surak Rang Kuantan” penyaji terbaik wilayah Sumatra karya
koreografer Wandrialis, S.Sn. Karya yang terinspirasi dari kisah Tepian Narosa
sebagai tempat wisata budaya pacu jalur di Kuantan Sangingi Riau ini tampil
memukau. Kelakar emak-emak tersaji dengan apik, minim akrobatik pada gerak.
Sajian ini semakin menggigit, begitu musik menyuplai energi positif pada karya,
muaranya penari muda, yang enerjik plus balutan kostum era 70-an menjelma
menjadi emak-emak kekinian. Sorak kayua,
kayua, kayua dari 9 penari muda belia di bibir panggung itu berakhir sesak
dan menakjubkan. Capaian Wandrialis,
telah mengubur mimpi Shinta Trilia Rossa dari Provinsi Kepulauan Riau. Yang
menurut pengamat, tari Legenda Moyang Seraga tuntas secara koreografi, tapi
kalah cerdas dari sisi dinamika gerak.
Kepri memang tidak seberuntung Riau, namun tidak gagal secara total,
karena di samping meraih penata musik terbaik, juga terpilih dalam 13 penyaji
karya terbaik.
Hal
berbeda dan sederhana terlihat pada karya “Jawara Syahbandar” koreografer
Christina Binol dari DKI Jakarta. Dari
kesederhanaan ia bisa memunculkan ekspektasi yang luar biasa di mata
penonton. Baginya untuk mendapatkan
hasil yang fantastis tidak serta merta hanya bisa diperoleh dari kemewahan dan
rumit. Demikian pula dalam hal ungkap, iapun tidak tertarik untuk bercerita
lebih. Agaknya Christina menyadari, menggambarkan tentang kesibukan kehidupan
para jawara Betawi Labuhan Kelapa yang saat ini lebih dikenal dengan pasar ikan
Pelabuhan Sunda Kelapa itu tak akan
mampu ia ceritakan secara tuntas dalam waktu 7 menit. Untuk itu ia lebih
memilih memanfaatkan ketubuhan penarinya yang berkemampuan sama dan
merata. Tak pelak, usaha koreografer
asal Jakarta ini membuat lima pengamat luluh. Endingnya piala bergilir itu,
diboyong ke Jakarta, tapi tidak di inapkan di Taman Mini Indonesia Indah.
Tahniah, ya Chris…..
Hasil
lengkap: (1). Penyaji Terbaik : Riau, DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Tengah dan Papua. (2). Penata Tari Unggulan: Riau, Kalbar, DKI Jakarta, Jabar,
dan Kalsel. (3). Penata Musik Terbaik: Riau, Kepri, DKI Jakarta, Jabar, dan
Kalimantan. (4). Penata Rias: Kalimantan Barat, Papua, NTT, DKI Jakarta, dan
Jatim. (4). 13 Penyaji Unggulan: Sulteng, Riau, Kalimantan Barat, Papua, NTT,
Kepri, DKI Jakarta, Jabar, Jambi, Banten, Kalsel, Sumut, dan Jatim.
Tulisan ini sudah dimuat di Padang Ekspres dan Tanjung Pinang Post Agustus 2019
Belum ada Komentar untuk "Mengintip Parade Tari Nusantara Di TMII Jakarta: Antara Tradisi, Ekpresi dan Imajinasi"
Posting Komentar