Mengintip Parade Tari Nusantara Di TMII Jakarta: Antara Tradisi, Ekpresi dan Imajinasi

Tari "Jawara Syahbandar" Koreogrefr Christina Binol (Juara Umum Parade Tari 2019)

TIDAK bisa disangkal lagi, ajang kompetisi tari (bergengsi) tingkat Nasional ke-38 yang digagas Taman Mini Indonesia Indah (TMII) masih menjadi primadona bagi para peserta. 23 karya tari baru hasil komtemplasi koreografer pilihan dari berbagai provinsi di Indonesia menggeliat di panggung Teater Garuda TMII (10/8) yang lalu. Ditinjau dari kwantitas, memang menurun dari tahun sebelumnya, namun secara kwalitas, helat tahunan ini membuat para pengamat berdecak kagum, mereka bangga, karena menu parade tari tahun ini dirasakan lebih bernas dan kaya nutrisi.
Komposisi pengamat tahun ini pun menarik, untuk dicermati. Barangkali  luput dari amatan banyak orang, kalau saat ini panitia mencoba menyelaraskan tuntutan kekaryaan yang semakin dinamis. Jika boleh dikategorikan, komposisi Wiwik Sipala dan Ertis Yulia Manikam adalah perwakilan generasi yang sudah matang, katam, kenyang,  malang melintang di panggung pertunjukan. Kemudian disandingkan dengan dua sosok muda mewakili milenial yang ‘nakal’, enerjik, dan brilian. Sosok muda itu Eko Supriyanto koreografer fenomenal Indonesia. Melengkapi asupan gizi wilayah jelajahnya, dua program doktoral yakni kajian dan penciptaan diselesaikan di Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta, dan Insitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Di susul koreografer Alfiyanto yang setakat ini masih terus berinovasi melahirkan gagasan-gagasan. Pendiri Wajiwa Bandung Dance Theater dan Rumah Kreatif yang berbasis etnoekkultural ini. selain menggagas berbagai forum tari, karya-karyanya pun dirasakan semakin menggigit dan tajam. Sedangkan sosok Frans Sartono, berbekal pengalamannya yang mumpuni di bidang liputan seni budaya termasuk tari, dianggap bisa memberikan keseimbangan sekaligus mengawal dua generasi tadi. Asumsi ini bisa salah, tapi tidak pula semuanya benar.  Patut diapresiasi, keterwakilan dan kolaborasi dua generasi itu selain dirasakan pas, juga dibutuhkan untuk membedah karya peserta parade yang sudah berjalan tiga dasawarsa itu. 
Tradisi berubah karena tidak pernah bisa memuaskan  seluruh pendukungnya. Meskipun demikian tradisi tidak berubah dengan sendirinya, tetapi memberi peluang untuk diubah dan membutuhkan seseorang untuk melakukan perubahan. (Edward Shils, dalam makalah Sal Murgiyanto).  Tari dan perkembangannya saat ini adalah bentuk seni yang  terus bergerak dinamis sesuai tuntutan zamannya. Perubahan dan kemajuan itu sulit dihambat, karena disokong oleh koreografer yang selalu bergerilya di medan kreatif dan teknologi yang selalu berinovasi tiada henti. Indikasinya, beragam gaya terus menyeruak,  memudar lalu perlahan menghilang, lalu muncul (lagi) tradisi (bentuk-bentuk) baru. Sekali lagi pergerakan dan perkembangan tari dan unsur pendukung lainnya dirasakan terus bergelora.  
Satu catatan penting, perlu mendapat perhatian serius, yaitu koreografer tidak hanya sekedar fokus dalam menyusun dan merangkai gerak sekaligus disain lantainya saja, lalu mengabaikan detail-detail gerak. Kalau ini terjadi,  tidak heran jika ada gejala bahwa susunan tari suatu daerah bisa menjadi sangat mirip dengan karya yang lainnya, hal ini dikarenakan adanya proses meniru dan asal baru, atau saling mengambil, dan mencomot mentah-mentah. Hal ini dimungkinkan karena dirangsang oleh pertemuan dalam berbagai forum dan ajang festival, tidak terkecuali hajatan yang digagas TMII ini. Beruntunglah, kecurigaan tersebut tidak terbukti sepenuhnya, jika pun ada, tidak lebih dari sebuah kekilafan dan kecelakaan ekplorasi yang tidak dielaborasi lebih jauh.
Untuk menjadikannya akar, pijakan karya, penata tari perlu memahami, menyelami tradisinya lebih jauh, melebihi sekedar memilih dan memanfaatkan gerak-gerak yang  dibutuhkan saja. Penata tari mestinya tidak memposisikan tradisi sebagai benda mati. Tradisi itu lentur, tumbuh dan berkembang sesuai dengan tempat dan masanya. Kepiawaian para kreator akan terlihat dari begaimana usaha, strategi yang dilakukan sehingga dialog tradisi dengan modern akan memunculkan karya yang berkelindan di panggung. Ruang dan kesempatan itu terbuka luas, oleh karena penata tari memiliki kebebasan dalam memilih dan menginterpretasikan melalui tubuh-tubuh yang terlatih tentunya.
Bernas yang disampaikan PLH. Direktur Penelitian Pengembangan Budaya TMII,  Sigit Gunarjo, meskipun parade tari ini bersifat kompetitif, namun semangat utama dari penyelenggara acara ini adalah sebagai ajang selebrasi dan silaturahmi budaya yang diwakili oleh karya para koreografer. Bertemunya sekian banyak karya dalam satu panggung, maka disinilah terbuka kesempatan untuk saling menyapa, saling mengamati, saling belajar, dan juga saling mengukur sampai dimana tingkat capaian kita dalam karya tari, walaupun kompetitif, bukan berarti dipertandingkan melainkan dipersandingkan.

Piala Bergilir TMII Tahun 2019, Untuk DKI Jakarta
Pantas dipuji. Memasuki usianya yang tidak lagi muda, kegiatan sekelas parade tari Nusantara yang digagas TMII, masih bertahan dan menjadi salah satu alat ukur bagi penata tari muda Indonesia. Kesetiaan TMII meski mendapat apresiasi lebih dari berbagai kalangan, tidak terkecuali pemerintah dan seniman (tari) itu sendiri. Hingga kini, wadah tersebut hadir  guna mengasah kemampuan dan kepiawaian koroegrafer dalam mengolah gagasan. Tidak hanya koreografer, menelisik kembali tubuh sebagai bahasa ungkap yang merupakan aspek penting dalam  tari. Tidak saja untuk kepentingan artistik, tetapi tubuh mesti hadir sebagai ekspresi yang merekam berbagai peristiwa dan harapan sekaligus.
Alfiyanto, sesaat jelang pembacaan keputusan dewan juri memuji koreografer dalam hal pencarian gagasan serta semangatnya untuk berbuat. Namun tergelitik untuk menyoroti keberadaan tubuh sebagai media ungkap. Hal ini dirasakan pada keinginan koreografer untuk bercerita tuntas tentang tema yang diusung. Akhirnya, karya tari yang enak di awal, seterusnya terjerembab ke bahasa verbal.
Sementara seniman kawakan Wiwik Sipala menyoal tentang musik. Menurutnya, ada peningkatan pemahaman, bagaimana memberikan musik pada tari tidak hanya sebagai pengiring, akan tetapi sudah mampu membangun suasana setiap adegan dalam konsep karya. Tinggal bagaimana mempertajam pemahaman tentang warna bunyi dari instrument dan juga mempertimbangkan alat musik mana yang digunakan untuk membangun suasana yang diharapkan. Selain itu yang menggelitik maestro tari ini, adalah keberadaan properti dalam tari diakuinya penting, akan tetapi sebaiknya perlu dibatasi, sehingga eksplorasi tubuh menjadi yang utama dalam konsep garap.
Sejalan dengan Wiwik, dan Alfiyanto. Eko Supriyanto memberikan penegasan, bahwa tari adalah ekspresi tubuh. Ekpresi tubuh itu menjadi sebuah imajinasi bukan menjadikan sebuah keinginan. Dibilang ‘bukan’, karna bahasa tubuh itu sudah puitis. Untuk itu penata tari harus mencari stetegi lain supaya ekpsresi bisa menjadi imajinatif yang netral, dalam artian tidak ada konteks dipaksakan untuk dimengerti oleh penonton. koreografer tidak harus memaksakan kepada penonton apa makna yang diungkapkan dari gerak.
Di akui, garapan yang tampil di Teater Garuda ketika itu (memang) ada yang siap dan matang, namun tak bisa pula dipungkiri dibeberapa karya dirasakan masih dangkal. Sekali tiga uang, para pengamat, merasakan di menit-menit awal garapan berjalan sukses, namun kehilangan arah ditengah dan gagap dibagian akhir, seperti munculnya jeritan, ada drama untuk menyampaikan keinginan penata kepada penonton dengan harapan antara keinginan pekarya dengan penonton ini berimajinasi sama. Hal ini tidak perlu dilakukan oleh penata tari, tapi biarlah imajinasi penonton bergerak liar tentang ekspresi yang dilahirkan penari di atas panggung.
Agaknya harapan yang diinginkan pengamat ketika itu sebagian besar didapatkan pada karya tari “Surak Rang Kuantan” penyaji terbaik wilayah Sumatra karya koreografer Wandrialis, S.Sn. Karya yang terinspirasi dari kisah Tepian Narosa sebagai tempat wisata budaya pacu jalur di Kuantan Sangingi Riau ini tampil memukau. Kelakar emak-emak tersaji dengan apik, minim akrobatik pada gerak. Sajian ini semakin menggigit, begitu musik menyuplai energi positif pada karya, muaranya penari muda, yang enerjik plus balutan kostum era 70-an menjelma menjadi emak-emak kekinian. Sorak kayua, kayua, kayua dari 9 penari muda belia di bibir panggung itu berakhir sesak dan menakjubkan.  Capaian Wandrialis, telah mengubur mimpi Shinta Trilia Rossa dari Provinsi Kepulauan Riau. Yang menurut pengamat, tari Legenda Moyang Seraga tuntas secara koreografi, tapi kalah cerdas dari sisi dinamika gerak.  Kepri memang tidak seberuntung Riau, namun tidak gagal secara total, karena di samping meraih penata musik terbaik, juga terpilih dalam 13 penyaji karya terbaik.  
Hal berbeda dan sederhana terlihat pada karya “Jawara Syahbandar” koreografer Christina Binol  dari DKI Jakarta. Dari kesederhanaan ia bisa memunculkan ekspektasi yang luar biasa di mata penonton.  Baginya untuk mendapatkan hasil yang fantastis tidak serta merta hanya bisa diperoleh dari kemewahan dan rumit. Demikian pula dalam hal ungkap, iapun tidak tertarik untuk bercerita lebih. Agaknya Christina menyadari, menggambarkan tentang kesibukan kehidupan para jawara Betawi Labuhan Kelapa yang saat ini lebih dikenal dengan pasar ikan Pelabuhan Sunda Kelapa itu  tak akan mampu ia ceritakan secara tuntas dalam waktu 7 menit. Untuk itu ia lebih memilih memanfaatkan ketubuhan penarinya yang berkemampuan sama dan merata.  Tak pelak, usaha koreografer asal Jakarta ini membuat lima pengamat luluh. Endingnya piala bergilir itu, diboyong ke Jakarta, tapi tidak di inapkan di Taman Mini Indonesia Indah. Tahniah, ya Chris…..
            Hasil lengkap: (1). Penyaji Terbaik : Riau, DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah dan Papua. (2). Penata Tari Unggulan: Riau, Kalbar, DKI Jakarta, Jabar, dan Kalsel. (3). Penata Musik Terbaik: Riau, Kepri, DKI Jakarta, Jabar, dan Kalimantan. (4). Penata Rias: Kalimantan Barat, Papua, NTT, DKI Jakarta, dan Jatim. (4). 13 Penyaji Unggulan: Sulteng, Riau, Kalimantan Barat, Papua, NTT, Kepri, DKI Jakarta, Jabar, Jambi, Banten, Kalsel, Sumut, dan Jatim.    

Tulisan ini sudah dimuat di Padang Ekspres dan Tanjung Pinang Post Agustus 2019

Belum ada Komentar untuk "Mengintip Parade Tari Nusantara Di TMII Jakarta: Antara Tradisi, Ekpresi dan Imajinasi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2