Sanggar Seni Pelangi Kabupaten Lingga, Ke Parade Tari Provinsi Kepri

Sanggar Seni Pelangi (Terbaik 1) Parade Tari Lingga
Foto Dinas Pariwisata Lingga

Parade tari daerah Kabupaten Lingga tahun 2019 usai. Kompetisi tahunan yang kehadirannya selalu ditunggu tidak saja dari kalangan penggiat seni, melainkan juga masyarakat Lingga itu sendiri. Sebagai bukti, halaman kantor Bupati pada tanggal 28 Juni (malamnya)  dijejali penonton. Program tahunan Dinas Pariwisata Kabupaten Lingga ini seolah mengabarkan bahwa kebudayaan itu berperan dalam pertumbuhan manusia, oleh karenanya ia tidak boleh berjalan, tumbuh dan berkembang tanpa bimbingan. Setidaknya kepedulian dan keseriusan itu yang hendak diperlihatkan melalui pogramnya, satu diantaranya adalah parade tari. 

Sanggar Sang Setie (Terbaik 2) Parade Tari Daerah 
Foto Dinas Pariwisata Lingga

Parade yang diikuti 9 karya tari ini mendatangkan tiga eksekutor yang kemampuannya tidak perlu diragukan lagi, ada Epi Martison seniman tari dan musik asal Riau yang lebih dari separuh umurnya masih tunak dengan kesenimannya di Jakarta. Ke dua Said Parman, (Seniman Pemangku Negeri) seorang tokoh, budayawan, koreografer dan juga dikenal sebagai maestro Makyong. Serta Mohammad Zen Kepala Bidang di Dinas Pariwisata Kota Batam. Sosok Zen yang sebelumnya dikenal sebagai penari handal. Kini tenaga dan pikirannya dihibahkan untuk kemajuan pariwisata khususnya cabang seni dan budaya.
Hanya berselang satu jam Epi Martison sampai di Batam, mabuk lautnya belum begitu stabil, tegaknya masih sempoyongan. Tapi ia tak sabaran untuk berkisah tentang tontonan cerdas yang baru saja ia saksikan di Lingga. Menurutnya, parade tari Lingga semakin berkelas. Seniman tari dan musik sudah semakin siap dan mantap. Melihat sajian malam itu, beberapa nomor karya membuktikan pada penonton bahwa mereka benar-benar siap. Di akui, beberapa karya dari kecamatan masih setia dengan pola-pola lama yang ada di tradisinya. Prinsip sederhana dalam tari, mengangkat peristiwa keseharian ke atas pentas tanpa mempertimbangkan unsur-unsur seni tari yang lainnya, kental dirasa. Akan tetapi yang membuat kita bangga dan berharap, semangat yang mereka miliki dalam bekarya seolah menjadi jaminan untuk berbuat lebih, mulai  pada tatanan konsep sampai pada kesiapan tubuh penari itu sendiri.  
Untuk kasus ini, Epi Martison punya opsi. Bahkan dengan tegas ia bertutur bahwa tidak ada yang salah dari mereka (penata tari). Kesetiaan mereka untuk mempertahankan kesenian tradisi patut diacungin jempol. Untuk itu pemerintah perlu mengakomodir dengan membuat event yang lainnya. Sehingga bebepa event bisa menjawab dan menunjukan keberpihakan pada semua bentuk kesenian yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Sorotan lain, yang tidak luput di sentil Epi adalah kebutuhan lighting, dan sound sistim yang mesti mendapat perhatian lebih oleh panitia penyelenggara. Lebih jauh Epi menjelaskan, karya tari 7 menit yang diinginkan oleh penyelenggara di tingkat Nasional (baca Taman Mini Indonesia Indah) bukanlah berupa sendratari. Oleh karenanya, penata tari dan penata musik semestinya arif menyiasati, cerdas dengan ide dan gagasannya, kepiawaian ini mesti dimiliki sehingga ia akan meramu adonan  melalui simbol yang tidak selalu verbal.
Hal ini pula yang dirasakan oleh Mohammad Zen. Ketika penulis minta tanggapannya, di tengah kesibukannya yang tidak sedikit, ia masih menyempatkan diri untuk membalas chat whatsapp penulis. Menurutnya, karya-karya mereka sudah bagus. Agaknya Zen terganggu dengan pilihan simbol yang digunakan oleh penata tari, namun ia cepat meralat ucapannya, jika kehadiran simbol itu dirasakan (sangat) lugas, ia meyakini tidak perlu menunggu waktu lama kegelisahan itu akan terkikis dengan sendirinya jika penata tari itu selalu berbuat dan berkontemplasi. Selain itu, yang merisaukan Zen adalah penggunaan property dibeberapa karya tari hanya menjadi beban. Menurutnya properti belum hadir sesuai ekspektasi penonton, padahal ditinjau dari segi ide garapan mereka memiliki kecerdasan. Sangat disayangkan memang, ide besar yang punya nilai jual itu urung mereka usung ke panggung.  
            Di penghujung diskusi, Epi Martison berharap, agar apresiasi dan prestasi seniman,   serta penyelenggara event di Kabupaten Lingga itu bisa berjalan selaras, barangkali kegiatan workshop tari, musik serta manajemen seni pertunjukan sudah selayaknya di gagas. Mumpung Kabupaten Lingga itu belum (begitu) terkontaminasi, sehingga benih yang dimiliki oleh para seniman bisa menjadi jati diri bagi mereka dalam berkarya.
Sangat disayangkan, sampai tulisan ini dipublis, penulis tidak bisa mengorek informasi berharga dari amatan seorang Budayawan, koreografer handal asal Lingga, Bung Said Parman, Seniman Pemangku Negeri (SPN).
            Mereka yang berjaya pada parade tari Lingga adalah; Sanggar Seni Pelangi (terbaik 1), Sanggar Sang Setie (Terbaik 2), sedangkan Sanggar Megad Syah Alam harus puas di (terbaik 3). Selain itu, dewan juri juga menetapkan Sanggar Seni Pelangi sebagai penata busana terbaik, sedangkan penata musik terbaik dari  Sanggar Megad Syah Alam. Menjadi harapan masyarakat Lingga tentunya, semoga Sanggar Seni Pelangi bisa menaklukan panggung parade tari daerah tingkat Provinsi yang akan datang. Bagaimana Andri Pelesmana, Suai?.



Belum ada Komentar untuk "Sanggar Seni Pelangi Kabupaten Lingga, Ke Parade Tari Provinsi Kepri "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2