Distance Parade: Kamera Sebagai Penonton, Atau Sumber Estetika Baru?
SAYA mulai catatan
dangkal ini dengan ucapan tahniah, salut sekaligus bangga kepada penyelenggara
yang telah menginisiasi ide cerdas yang diperuntukan bagi para penari, dan
koreografer Indonesia. Kegiatan yang
bertajuk ‘Distance Parade’ oleh komunitas seni tari Indonesia dirasakan lahir
tepat pada waktunya. Dengan mengusung ‘ruang’ sebagai tema besarnya. Helat ini
lebih dimaknai sebagai bentuk solidaritas seniman tari di Indonesia untuk tetap
berkarya. Bahkan, keberanian dan konsistensi mereka dalam melahirkan
gagasan-gagasan kreatif menjadi taruhan dan patut pula di acung. Sekalipun di
tengah keterbatasan pandemi saat ini tidak menyurutkan para koreografer
Indonesia untuk tetap berimajinasi, bergerilya di medan kreatif tanpa sekat-batas.
Bersempena dengan
peringatan hari tari dunia, 29/4 yang lalu sekaligus hari lahir pekarya tari
balet modern, Jean Georges Noverre. Beragam kegiatan daring dari insan tari
Indonesia telah mewarnai berbagai layar
di media sosial. Membanggakannya lagi, tidak hanya pertunjukan tari yang
mengudara, melainkan juga ada dialog, diskusi akal sehat-pun ikut tumbuh subur dari
beberapa komunitas yang rata-rata dibidani kaum milenial. Gayung-pun bersambut.
Ide cerdas mereka ternyata mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan. Klimaksnya
ada di ujung pesta, ketika ruang tumbuh dari Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang
menghadirkan sosok Sal Murgiyanto. Jujur, pemaparan brilian kritikus tari
Indonesia yang mendunia itu sontak menghipnotis insan tari tanah air. Apa
lacur, kecemasan dan harapan seorang Sal tentang perkembangan tari Indonesia kehadapan, disampaikannya secara lugas. Ada kesan,
petuah bernas itu sengaja ia berikan, untuk menyuplai vitamin agar supaya koreografer
Indonesia mampu berdiri tegak dengan asupan gizi yang berimbang. Seperti yang
beliau sampaikan persis di ujung tulisannya “seni (tari) membuat kita menemukan
diri dan kehilangan diri sekaligus”.
Perayaan hari tari dunia
tahun ini memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun spirit dan atmosfirnya
kurang lebih dirasakan sama. Sebagai penutup dari keseluruhan rangkaian
peringatan tadi, komunitas seni tari Indonesia yang digawangi oleh Abu Hassan Lobubun, Hartati dan
kawan-kawan di Jakarta bekerjasama
dengan Direktorat Jendral Kebudayaan Republik Indonesia dengan bangga mengetengahkan
40 karya terpilih dari 233 pengirim. Artinya dalam waktu relatif singkat,
jumlah ini mengisyaratkan pada kita semua,
kerinduan tubuh penari, koreografer itu tak lagi terbendung dan
seolah-olah tidak sedang terusik oleh ruang dan waktu seperti saat ini. Jika
ruang dan tubuh adalah dua entitas yang saling berkait. Kolaborasi keduanya itu
telah kita saksikan bersama dari 27/4 –
01/5 yang lalu. Untuk hasilnya, dilihat dari berbagai perspektif, tentu saja akan
ditanggapi beragam.
Beberapa karya dari
koreografer lahir dengan pertimbangan ruang dengan imajiner yang berkelindan. Sehingga
kadar perenungan serta keuletan mengekplorasi ruang-ruang imajiner mampu
menghidupkan imajinasi penontonnya. Di sisi lain, petualangan dalam menjelajahi
hal-hal yang baru, tanpa disadari merasa terhalang oleh kemampuan individual koreografer
dalam mengkombinasikan, dengan unsur-unsur tari lainnya. Pemahaman pertunjukan
di gedung konvensional dengan pertunjukan berbasis daring menjadi satu catatan
penting dalam pertunjukan ini. Jika dibeberapa karya dirasakan belum tersikapi
dengan teliti, barangkali lebih disebabkan oleh kebimbangan, pengalaman dan
pemahaman koreografer dalam mengambil keputusan.
Seperti yang disampaikan
oleh Jecko Siompo pada sesi bincang-bincang usai pertunjukan yakni menakar
pilihan tentang keinginan koreografer bermain dengan kamera atau tubuh yang
menjadi andalan. Tidak ada yang salah. Kombinasi keduanya terbuka dan bisa saja
dilakukan sekalipun dengan keterbatasan alat yang digunakan. Sinyal yang hendak
dikirim Jecko adalah pemahaman kreator tentang penggunaan media digital dalam
karyanya. Karena ada tiga kreator yang terlibat sekaligus yakni, koreografer,
kameramen, dan editor. Alasan lain dari koreografer asal Papua adalah, perjalanan
menuju empowering tari dalam media film memang
bukan hal baru dan tabu di dunia tari Indonesia. Di sisi lain Heru Joni Putra,
asal Sumatra Barat menguatkan sekaligus mengkritisi seharusnya koreografer bisa
memanfaatkan perangkat teknologi untuk menemukan sekaligus menghasilkan sumber
estetika baru pada karyanya. Bukan justru
menjadikan teknologi untuk menginstankan atau menjadi alat bantu untuk sesuatu
yang semestinya butuh proses bukan butuh bantuan.
Apa boleh
buat, ide-ide segar, brilian dan mahal dari hasil kontemplasi pekarya itu
akhirnya urung tersajikan dengan baik. Bagi mereka yang mencoba memanfaatkan
kamera, sekaligus kepiawaian editor sebagai
tujuan mengemas karya untuk mendapatkan nilai lebih, ada yang berhasil.
Misalnya pada karya tari “Ambang” koreografer Eka Wahyuni (Yogyakarta).
Koreografer melalui penarinya mencoba membenturkan, mengawinkan kontemplasinya
dengan kosep kekinian. Tubuh baginya sebuah misteri energy yang memiliki
kekuatan spesifik untuk bisa menjelajahi berbagai wilayah pengungkapan. Relasi
tubuh yoganya dengan kamar serta pencahayaan semu memunculkan berbagai impresi
atas nilai-nilai yang tersirat. Dalam waktu dan ruang yang hampir bersamaan,
hadir rasa ketakutan, kegelisahan, kecemasan dan kegamangan. Selain kecerdasannya
memilih editor yang mumpuni, agaknya, koreografer mempunyai dua keberuntungan
sekaligus, disamping kepiawaian penarinya dalam mengolah rasa, juga
memiliki musikalitas yang tinggi. Kelebihan
yang dimiliki Eka Wahyuni inilah agaknya yang membuat ia (sedikit) berbeda
degan kreator lainnya.
Sebaliknya, kita berdecak
kagum pada beberapa karya yang justru lebih mengandalkan tubuhnya dalam sebuah
pencapaian. Sedangkan kamera tidak lebih dari sebatas media perekam. Kemampuan, dan kegigihan
dalam menemukan ide-ide baru cukup dirasakan. Misalnya pada tari Tusuk Endha karya Bathara Saverigadi
Dewandoro yang tampil impresif. Ternyata lorong yang sempit itu telah
memberikan inspirasi dan energi yang begitu kuat pada dirinya. Kental terasa,
adaptasi tubuh Jawa-nya dengan bentuk kekinian mampu memunculkan berbagai pesan
yang tersirat bahkan dibeberapa bagian Bathara memberikan secara lugas. Tubuh
ringannya yang elastis, terkadang lengket ke dinding, jatuh dalam posisi
sigap-tegap, pergerakan gravitasi kedua telapak kaki seolah mencengkram kuat di
dua sisi dinding.
Agaknya tubuh anak muda ini
dibeberapa bagian karyanya mampu menghadirkan berbagai ekpektasi yang tiada henti untuk mengekplorasi berbagai
kemungkinan. Bahkan pencarian itu semakin gencar ia lakukan. Menguatkan asumsi
ini, saya jadi ingat ungkapkan Bambang
Sugiharto guru besar estetika, pada karya seni yang penting pertama-tama
bukanlah ‘what it means’, ‘maknanya
apa’, melainkan ‘what it does’, dia melakukan
apa kepada (kita), kita merasakan efek apa darinya, setelah itu barulah kita
dapat menemukan ‘makna’-nya.
Satu
dari 40 karya tari terpilih. Saya gambarkan dengan dua kutipan berikut. Pertama, salah
satu prinsip penting dalam berkesenian
adalah pengabdian. Seniman dalam berkarya tidak semua diukur dengan
uang. Ada sisi pengabdian dan pertanggungjawaban moral, sekaligus seniman juga
harus punya kepedulian pada seni yang digelutinya (I Wayan Dibia). Kedua, “…... saya itu
dari dulu, kalau ada waktu, punya tenaga, ada lukisan, tidak pernah menolak
kalau diundang pameran. Mau diluar negeri, dalam negeri, di tingkat RT atau RW,
akan saya terima karena menurut saya
perupa punya tanggung jawab moral
mempresentasikan karyanya. Dimanapun tidak akan saya tolak. Tidak harus
ditempat yang bergensi, dimanapun saya siap. (Nasirun seorang pelukis
kontemporer).
Dua
kutipan di atas, saya gunakan untuk menyampaikan sosok koreografer yang
karyanya memposisikan kamera sebagai penonton setianya. Di awal garapannya saja
ia sudah berhasil menipu imajinasi saya mentah-mentah. Jujur saja, sama sekali saya
tidak tertarik untuk membahas apa yang sudah ia sajikan, sekalipun saya punya hak untuk mendiskripsikan sekaligus menginterpretasikan sebagaimana yang saya rasakan. Saya justru ingin bertanya, bagimana tanggapan kurator
dan panitia kegiatan distance parade ini, begitu membuka file yang dikirimkan
oleh koreografer senior ini. Tidak berlebihan apalagi disebut lebai. Melainkan sebagai penonton, saya salut atas dedikasi, dan kerendahan hatinya untuk ikut nimbrung bersama koreografer muda Indonesia.
Makaseh mas Mugiyono. Satu pembelajaran penting, berharga yang anda berikan pada generasi penggantimu. Sekalipun anda memiliki pengalaman panggung baik dalam maupun luar negeri, dengan kekhasannya yang lentur, lucu dan cerdas itu. Anehnya semua itu tak membuat anda merasa tinggi dan lebih. Salam kreatifitas tanpa batas. Batam, 7 April 2020 (Paizal Amri).
Makaseh mas Mugiyono. Satu pembelajaran penting, berharga yang anda berikan pada generasi penggantimu. Sekalipun anda memiliki pengalaman panggung baik dalam maupun luar negeri, dengan kekhasannya yang lentur, lucu dan cerdas itu. Anehnya semua itu tak membuat anda merasa tinggi dan lebih. Salam kreatifitas tanpa batas. Batam, 7 April 2020 (Paizal Amri).
Izin promo ya Admin^^
BalasHapusBosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa x-)
- Telkomsel
- GOPAY
- Link AJA
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.COMPANY ....:)