Menyoal Etika dan Estetika


 
 Foto: makalahe19.blogspot.com

MEMANG, sih, banyak yang mengatakan, kalau Ibu yang mengampu mata pelajaran bagian dari Sumpah Pemuda itu keras dan kaku. Narasi dan diksinya kepada siswa ketika berucap agak ngeri-ngeri sedap mendengarnya. Oleh sebagian orang yang (entah) sok peduli dengan kewajaran menilai kelantangannya tidak mencerminkan seorang yang digugu dan ditiru. Atau bisa jadi karena merasa bertanggung jawab, sampai akhirnya lupa, kilaf kalau lokasi sekolah tempatnya mengajar di lingkungan padat penduduk. Tak jarang, giliran  memegang mikrofon untuk mengumpulkan siswa di lapangan, dibeberapa kesempatan memang membuat telinga yang mendengar kurang sreg, karena diksi yang digunakan terlalu vulgar. Ada kesan, tegas adalah harus ditakuti, bukan disegani. Demikian, gunjingan beberapa kawan yang tanpaknya kurang berempati pada permasalahan yang tengah dihadapi salah satu sohib kami itu.
Tunggu dulu, sekolah yang terletak di kawasan padat penduduk ini, telah melaksanakan sistim zonasi jauh sebelum sistim itu diundangkan pemerintah. Jadi sengkarutnya persoalan sistim penerimaan siswa baru merupakan persoalan yang selalu dihadapi sejak sekolah ini berdiri 17 tahun yang lalu. Jujur, sedikit pun kami tidak kaget, jika persoalan tumpang tindih dan silih berganti menyelimuti sekolah ini. Bukan tidak sabar, harus diakui memang sekolah ijni situasi dan kondisinya jauh berbeda dengan sekolah yang ada.
Setiap tahun belum ditemukan formula yang pas berkaitan dengan penerimaan peserta didik baru ini. Pendek kata, siswa yang ditampung selalu melebihi kapasitas atau kuota yang telah ditentukan oleh penentu kebijakan. Patut pula disesali, sebelum dan sampai kebijakan ini dibuat, tidak pernah sekalipun, sistim berjalan sesuai dengan ketentuan. Selalu saja menerobos. Akhirnya, tak dapat dielakan, dalam sistim pembelajaran, dengan jumlah yang melebihi kapasitas, kelakuan siswa sering berbenturan dengan aturan-aturan yang dibuat di sekolah.
Sekolah dan majelis guru memang dituntut untuk selalu kreatif dan inovatif dalam mengembangkan silabus, metode pembelajaran dan bijak dalam berbagai hal. Jarang orang melihat sebuah persoalan muncvul dengan melihat secara konprehensif. Ada kesan, saat ini para guru dimusuhi, tidak boleh salah, sedikit ada cela kilaf, silaf maka berita dan tanggapan mengudara dengan cepatnya. Tak ayal guru langsung terpojok oleh hukuman media. Kejinya lagi, rasa empati pun dari beberapa rekan-rekan jauh dari panggang. Dalam posisi kalah dari wacana yang berkembang, maka penailaian pun datang menghujam dari siswa. Dalam hal ini mereka (para siswa) menang besar.
Tidak ada alasan, jika mereka mengumbar kemenangan  ini. Termasuk orang tua yang diharapkan untuk menengahi persoalan ini, muncul bagai orang suci yang meletakan kesalahan hanya pada orang lain saja. Semua orang bahkan alpa dan lupa, bahwa persoalan siswa tidak hanya menjadi domain dari guru saja, melainkan andil terbesarnya adalah keberadaan siswa di rumah. Bagaimana para orang tua mendidik, membentuk karakter sehingga anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya besar dan didik dilingkungan yang tepat. Kalaulah kerja sama ini tercipta dengan baik, yang paling beruntung adalah bangsa ini. Bisa Melahirkan generasi pengganti yang elok, cerdas, beratnggung jawab, memaknai perbedaan, menjaga nasionalismenya dan mengerti bagaimana bersikap baik pada orang tua dirumah, guru di sekolah maupun kepada bangsa dan Negara ini.
Jurang itu dirasakan semakin dalam dan tak bertuan. Kenapa tidak, hak azasi manusia itu selalu ternganga dan menganga lebar, yang setiap kali waktu siap menerkam siapa saja. Semisal pendidik bangsa ini keseleo lidah dalam beragumentasi, kilaf bertindak, ceroboh dalam bersikap. Maka bersiap-siaplah, dalam waktu yang tidak terlalu lama akan ada reaksi spontan masyarakat yang merasa dirugikan. Kata orang tua-tua, sopir itu kakinya sebelah dipenjara. Apa bedanya dengan guru saat ini. Yang kalau tidak berurusan dengan pihak berwajib, maka siap-siap dipelasah oleh sebagian masyarakat, atau sekurang-kurangnya pengadil jalanan, atau pencemaran nama baik di medsos. Bukan baper, ketika guru berbuat salah, semua orang akan berbicara tentang persoalan patut, dan tidak patut, etika, norma hukum. Agaknya zaman baru membutuhkan ekstra hati-hati dalam segala hal.
Melihat fenomena ini, para pendidik banyak yang berpikir ulang. Apakah kedatangannya ke sekolah mendidik atau mengajar saja. Karena dua hal terserbut sudah jelas punya makna yang berbeda. Semestinya relasi keduanya berjalan berdampingan, tidak bisa hanya satu saja. Bukan picik dan tak berpikir, seorang guru memang sedang dihadapkan pada persoalan  yang memerlukan kalkulasi otak. Jika salah mengkalkulasi, siapkan diri untuk dipelasah.
Tidak berlebihan kiranya, jika dikatakan terlalu naïf bangsa dan manusia saat ini, jika kepada guru diminta untuk menauladani malaikat yang tidak pernah berbuat salah. Anehnya, kenal dengan gurunya saja tidak, bagaimana kejadiannya sebenarnya pun tidak pula tau, modalnya hanya membaca atau mendengar dari seseorang yang sebenarnya juga bersumber dari orang yang tidak pula paham dengan akar permasalahan, akan tetapi merasa berhak menggugat dan menghujat yang hanya didasari oleh asumsi yang belum tentu benar. Kalau saja, seseorang yang hanya karena melihat dan mendengar atau sekedar membaca postingan di media social (medsos) saja bisa mengusik pikirannya, lalu seseorang tersebut merasa berhak dan pantas menghakimi, memaki orang yang terlibat tanpa paham konteksnya, berarti yang bermasalah itu sebenarnya adalah diri orang tersebut. Itu adalah kesimpulan kilat dari cara berpikir orang itu. Bukanlah siapa yang dipelasah atau objek di media sosial itu.
Dua tugas utama adalah guru mengajar dan mendidik. Kegiatan mengajar lebih kepada mentransfer ilmu, sedangkan mendidik adalah mentransfer nilai. Ilmu dan nilai adalah dua hal yang berbeda. Nilai mempunyai makna yang luas jika disandingkan ilmu. Orang yang memberikan nilai membutuhkan prasyarat yakni memberikan ilmu sebagai bagian dari proses penyadaran. Dari kesadaran yang ditanamkan inilah dikembangkan sikap dan perilaku. Tanpa kesadaran, sikap dan tindakan tidak akan pernah ada. Jikapun ada hal itu terpisah kepribadian seseorang. Guru yang mendidik, dipastikan melakukan aktivitas mengajar. Tetapi sebaliknya, guru yang mengajar, belum tentu melakukan aktivitas mendidik.
Untuk menutup, dua kutipan ini mungkin pantas untuk direnungkan; Ilmu mengajarkan baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, boleh dan tidak boleh. Sedangkan nilai mengajak seseorang untuk mengaplikasikan apa yang baik, pantas, dan boleh untuk dilaksanakan di dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga untuk sebaliknya, hal-hal yang tidak baik, tidak pantas, tidak boleh dilakukan, nilai mengajaknya untuk menjauhinya. Bahkan pada level tertentu, peran nilai akan lebih tinggi lagi. Tugas utama seorang guru mendidik. Mengajar adalah bagian kecil dari tugas besar itu (Abdullah Munir, 2012:4).
Kepada sobatku, kini tentukan pilihan kita masing-masing. Jawaban yang ideal bergantung pada bagaimana cara kita melihat dan menyikapinya. Hanya dengan cara itu, kita akan menyikapi kedatangan Komisi Perlidungan Anak ke sekolah menjadi satu hal yang biasa saja. Tidak perlu surutkan semangatmu, tidak perlu hukum pikirannmu, jangan hakimi berlebihan keteledoranmu. Jika saja kamu merasakan rendah diri, merasa dicibiri oleh kawan yang tidak suka denganmu. Ini pasang surut kehidupan, yang semua orang mengalami berbagai peristiwa itu. Yang membedakan adalah waktunya saja yang tidak sama. Hanya ada satu cara, lawan (sekuat tenaga) penyesalanmu dengan imajinasi.
Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet. Dan papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan. Apakah artinya berpikir bisa terpisah dari masalah kehidupan. (WS Rendra).


Tikam, Agustus 2019

Belum ada Komentar untuk "Menyoal Etika dan Estetika"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2