Pasar Tari Komtemporer : Membaca Lokalitas Dalam Tubuh


Foto: Detiktio.com

TIDAKLAH berlebihan, jika seorang Iwan Irawan kita apresiasi kesetiaannya dalam memberikan laman bagi koreografer Indonesia. Khususnya bagi koreografer yang selalu bergerilya, berinovasi dengan ide dan gagasannya di medan kreatif. Buktinya Pasar Tari Kontemporer yang kali pertama diadakan tahun 1997 itu masih tetap bertahan sampai saat ini. Dua puluh dua tahun bukanlah waktu yang singkat.  Komitmennya pada dunia tari dan keberlangsungannya patut dipuji. Di usianya yang kini taklagi muda, terkesan ia masih sigap dan masih berenergi penuh, makin gesit dan terus mencoba tiada henti untuk mempersoalkan proses ketubuhan, sekaligus isu-isu yang selalu menjadi kegelisahan para koreografer saat ini. Sekalipun dalam perjalanannya gelaran ini diakui memang tidak selalu mulus jika merunut pada tahun-tahun penyelenggaraan sebelumnya.
Lebih dari itu, agaknya gelaran ini semacam pemberontakan batinnya yang tiada henti untuk terus menggeliat. Sekaligus juga sebagai pembuktian, jika event yang saham terbesarnya disponsori oleh  komitmen (seniman sejati), maka gelaran ini menjadi penting karena merasa bagian dari hidupnya. Sebaliknya, jika sebuah event yang hanya bersandar pada APBN/APBD, ia tidak cukup kuat untuk tetap bertahan dalam masa yang relatif lama. Maka tidak heran, banyak event lahir prematur di berbagai daerah. Gagah dan perkasa di awal, kehilangan pegangan sehingga memudar lalu hilang tak berbekas. Mudah ditebak, lenyapnya event tersebut karena tergerus oleh persoalan klasik yaitu finansial.
Sampai setakat ini event tari di Indonesia kita akui masih bersifat non profit, oleh karenanya, akar yang dimiliki tidak cukup kuat untuk bisa bertahan secara kontinyu. Berkeluh kesah ke plat merah, memungkinkan, namun tidak bisa untuk bergantung sepenuhnya. Menoleh ke swasta, dibeberapa bagian ada secercah harapan sekalipun merasa tak dilirik. Lalu dari mana sebenarnya anggaran dari penyelenggaraan event besar seperti ini. Bagi Iwan Irawan, berkeluh kesah tidak ada dalam kamus ketubuhannya, meskipun itu dirasakan. Reaksi berlebihan menyikapi berbagai hal akan berakibat seseorang menjadi lumpuh. Agaknya filosofi ini yang menjadikan Iwan sampai saat ini tegar,  dan tetap bisa berbuat untuk masa depan tari Riau khususnya – Indonesia umumnya. Sebagai bukti, mungkin tidak berlebihan namun cukup. Alhasil gawe Pasar Tari Kontemporer tahun ini masih bisa mempertemukan para koreografer dari berbagai seantero negeri. Dengan mengusung semangat utama penyelenggara sebagai ajang selebrasi dan silaturahmi budaya yang diwakili oleh karya para koreografer. Bertemunya sekian banyak karya dalam satu panggung, maka disinilah terbuka kesempatan untuk saling menyapa, saling mengamati, saling belajar, dan mungkin juga saling mengukur sampai dimana tingkatan capaian dalam karya tari. 
Keberadaan Pasar Tari Kontemporer  menjadi ajang untuk membagi pengetahuan, pendekatan kreatif satu sama lain. Forum ini juga bisa menjadi salah satu momentum besar, atau tonggak sejarah guna merepresentasikan Indonesia pada kancah tari kontemporer dunia. Setidaknya deretan koreografer fenomenal, seperti Michi Tamioka (Jepang), Sharmila Mukerjee, Suman Sarawgi (India), Sen Hea Ha (Republik Korea), Rachel Scott Crawford (New York-USA) pernah menjadi bagian dari kegiatan ini. Sedangkan di Indonesia, nama-nama koreografer mahal yang mendunia juga hadir, seperti Eri Mefri, Eko Supriyanto, Tom Ibnur, Sukarji Sriman, Bimo Wiwohatmo dan nama koreografer muda potensial Indonesia lainnya.
Perkembangan seni tari saat ini telah mengalami perjalanan yang sangat panjang. Perjalanan yang diwarnai aneka ragam pergeseran serta perubahan para seniman tari terus berproses dan bergulat dengan penciptaan karyanya, yang umumnya menawarkan sesuatu yang baru/inovasi baru.
Gagasan dan bentuk penciptaan karya tari senantiasa akan selalu berkembang menelusuri zamannya. Tersebab faktor perubahan dan kebutuhan seorang seniman, tanpa disadari  dipengaruhi oleh persinggungan bentuk-bentuk seni yang lainnya. Di sisi lain, seorang kreator memerlukan asupan gizi yang sepadan guna memuluskan pencernaan ide-ide briliannya untuk dimanifestasikan menjadi karya-karya yang bernutrisi tinggi. Kepekaan seorang seniman terhadap lingkungan sekaligus cara pandangnya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi turut memberikan andil yang besar dalam geliat kreativitasnya.
Pengembangan seni tari yang berorientasi pada nilai – nilai tradisi merupakan indikasi bahwa seni tradisi tidak mengalami stagnasi. Pelestarian yang dilakukan adalah wujud kebanggaan dan penghormatan terhadap warisan leluhur. Semangat yang boleh jadi akan tetap mengarah pada pengaktualisasian nuansa tradisi, hingga kearah kebebasan berekspresi sebagai tolak ukur kekuatan kreatifitas individu.
Seniman tari dituntut untuk terus berproses mengolah kreatifitas, mempertajam kepekaannya, memperdalam renungan, pemikiran, dan wawasan. Sebuah forum tari sangat perlu dan penting. Semakin banyaknya forum atau festival yang mewadahi kreatifitas para seniman tari dapat saling berdialog, baik melalui karya maupun bertukar informasi, serta yang terpenting dapat menjalin tali silahturahmi.
Atas dasar pemaparan dari berbagai persoalan yang dikemukakan sebelumnya, Pusat Latihan Tari Laksemana yang didirikan pada tahun 1984 dan kini menjadi Yayasan Pelatihan Tari Laksemana tergerak untuk memberanikan diri membuat forum tari Pasar Tari Kontemporer (PASTAKOM) yang kini dianggap sangat penting kehadirannya. Kegiatan untuk yang kesembilan kalinya, diharapkan selain merangsang  kebebasan berekspresi juga diharapkan mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan “citra Riau” dalam peta pertumbuhan seni tari di Indonesia dan dunia tari internasional.
Tidak hanya itu Pasar Tari Kontemporer ini juga diharapkan mampu untuk memperdayakan potensi dari seniman tari. Mengembangkan aspek kreatifitas dunia tari melalui lintasan batas semua ruang dan waktu, batas geografis maupun etnis, dengan menggenggam semangat kebersamaan dalam keragaman, serta memiliki visi ke masa depan. Keragaman dan silang budaya setidaknya telah menjadi wacana yang membuka pintu kesadaran untuk mengajak kita pada keberpihakan yang sama, bahwa keragaman merupakan semangat yang harus diperjuangkan untuk mempertahankan keberlangsungan sistem yang sehat dan dinamis dalam sebuah kompleksitas tatanan masyarakat yang multikultural.
Di timur orang cendrung untuk melestarikan dan memelihara apa yang diwariskan oleh dari masa lampau, sedangkan di Barat, lebih cendrung diajarkan untuk mempertanyakan, membuat temuan atau ungkapan yang orisinal khas dirinya sendiri. Pikiran kritis terhadap apa yang telah dibuat oleh pendahulu diperlukan untuk menemukan dan melihat wajah baru. Karena inovasi diperlukan untuk perkembangan tari itu sendiri. Agaknya ini yang menjadi konsens Iwan Irawan untuk tetap menyelenggarakan event ini. Hal ini tanpak pada tema besarnya “membaca lokalitas dalam tubuh”.  
Adapun koreografer yang ikut ambil bagian dalam event 28-30/11 di Taman Gemala Pekanbaru ini adalah sebagai berikut: Malam pembuka 28/11 adalah Duni Sriwani, Wan Harun Ismail (Pekanbaru), M. Syafrizal (Aceh), dan Deslenda (Padang). Tanggal 29 ada Fadlan Aulinanda (Aceh), Iing Sayuti (Jabar), Khairul Azhar Bin Muhtar (Malaysia), Kiki Rahmatika (Lampung), Surya Mulawarman (NTB), dan Dasrikal (Rohul Riau). Sedangkan di malam penutup 30/11 lima koreografer seperti Indra Zubir (Padang), Miftahul Hauna (Riau), Fitra Airiansyah (Aceh),  Tri Putra Mahardika (Jambi) dan Ruki Daryudi (Tanjung Pinang Kepulauan Riau). Tidak hanya itu, Eri Mefri koreografer Nasional akan memberikan materi wokshop koreografi selama dua hari berturut-turut 29-30.
Pesan lain sang penggagas yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana orang tahu, kalau koreografer di Riau, memiliki imajinasi yang baik kalau penggiatnya tidak bergerak. Bagaimana pula orang lain mau mendengar dan melihat karyamu bila kalian tidak berimajinasi dengan sungguh-sungguh. Berdirilah lalu bergeraklah mengalir ditubuhmu. Menarilah dengan cinta, tidak perlu kamu menghiraukan orang disekelilingmu, mereka bisa saja mencibir gerakanmu yang belum terolah dengan sempurna. Tetaplah tegar, jika perlu berteriak dengan lantang agar suaramu lantang menelusuri sisi panggung dengan jelas. Kamu harus tahu, mereka yang kini dadanya tegak, dulu juga memulainya dengan merangkak, ngesot, bisa jadi  terjerembab dan cedera, lalu berdiri lagi. Bukan tidak mungkin bisa saja dulu kaki mereka keseleo bahkan mungkin patah karena teknik gerak yang belum mumpuni, namun semangatnya tetap menggebu. Jika semua orang maklum dan paham dengan proses, mereka akan hadir sebagai pemberi semangat dan mengayomi.  Bukan begitu bang Iwan?.

Selamat berimajinasi di Pastakom.

Tulisan ini telah dimuat di Tanjung Pinang Post

Belum ada Komentar untuk "Pasar Tari Komtemporer : Membaca Lokalitas Dalam Tubuh"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2