Menyoal Tubuh Sebagai Media Rekam: KoreoLAB & Dance Camp Di Tanjung Pinang


Penyajian salah satu koreografer dengan penari di acara SKDC 2019
SEMINGGU yang lalu, (1-5 Oktober 2019)  di gedung Gonggong Tanjung Pinang, berlangsung kegiatan yang bertajuk Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp (SKDC). Kegiatan cerdas yang sekaligus memberikan pengetahuan, pengalaman dan pencerahan tentang keberadaan tubuh sebagai media rekam patut diapresiasi lebih, terutama bagi insan tari di Kepulauan Riau. Lebih dari itu, apapun alasannya, setidaknya ini mengabarkan kepada kita  bahwa geliat tari dan perkembangannya di daerah ini terdaftar dalam memori kolektif penggiat seni secara Nasional. Ini bukan keberutungan semata, melainkan sebuah kontribusi nyata dari pergerakan seniman sebelumnya dan pemerintah daerah yang ikut memberikan laluan sekaligus energi positif terhadap keberlangsungan kesenian di daerah ini. 
Tidak berlebihan kiranya, jika kita saat ini berasumsi bahwa pondasi itu kini sudah  terpacang, berikut benih-benih  yang kini mulai tumbuh subur bak jamur. Tinggal sekarang bagaimana merawat potensi yang dimiliki oleh para penari, penata tari pemula yang sarat dengan imajinasi ini di asah secara koreografi, sehingga kedepan kelak mereka akan bertumbuh dengan karya-karya yang cermat dalam menginterpretasikan gagasan-gagasannya.
Ide brilian tentang terselenggaranya SKDC di Tanjung Pinang, sungguh menjadi moment penting dan kehadirannya dianggap tepat dimana saat ini diberbagai kesempatan dan forum orang mulai bijak dan tertarik berbicara substansial tentang perkembangan tari dalam dimensi kekinian. Berbicara tari kotemporer bukan hanya sebatas membedah bentuk koreografinya saja, asal aneh dan harus baru, namun lebih kepada gagasan-gagasan yang diletupkan oleh seorang koreografer. Agaknya, persoalan ini termasuk salah satu indikasi yang hendak diurai oleh SKDC.
Keni K. Soeriaatmadja Direktur program sekaligus penggagas kegiatan ini mengatakan bahwa Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp adalah komunitas independen non-profit yang pada awal berdirinya mendapatkan hibah karya inovatif dari Yayasan Kelola (2015). Sedangkan tujuan penyelenggaraan workshop ini adalah selain membangun jaringan seni pertunjukan di Indonesia juga memberikan peningkatan skill, konstruksi ide, sekaligus membentuk wadah antar penggiat tari itu sendiri. Memasuki usianya yang ke lima tahun, kehadiran Sasikirana koreoLAB & Dance Camp (SKDC) dalam dunia tari saat  ini sedikit banyak telah ikut berkontribusi memberikan pencerahan  melalui forum-forum workshop dan dialogis. Selayaknya lah, gagasan pelaksanaa SKDC ini perlu kita apresiasi. Kita meyakini jika saja kegiatan ini bisa bertahan, bukan mustahil SKDC akan berubah dari momen menjadi monument dalam perkembangan tari kontemporer kedepannya. Sebuah terobosan yang  patut di puji.
Berbeda dengan tahun sebelumnya, kegiatan workshop kali ini mendatangkan beberapa koreografer muda berbakat Indonesia, seperti Riyo Tulus Pernando dari Riau, yang kini tengah meneruskan pendidikan magisternya di Insitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Puri Senjani Apriliani dari Surabaya, Abib Habibi Igal dari Kalimantan Tengah, dan Isa Al Awwam H. Usman dari Tidoe.  Tidak hanya mereka, melainkan nama-nama beken dan mumpuni di bidangnya ikut menyuplai pengalamannya kepada para peserta. Dari Tanjung Pinang ada Husnizar Hood (penyair, pelaku seni), dan Malik, M.Pd (Budayawan). Koreografer fenomenal Indonesia ada Eko Supriyanto (Surakarta) dan Hartati (Jakarta). Dari Pekanbaru Iwan Irawan Direktur Pasar Tari Kontemporer (PASTAKOM), Keni Soeriaatmadja Direktur program Sasikirana KoreoLAB&Dance Camp dan budayawan Bambang Sugiharto dari Universitas Parahyangan-Bandung.
Melihat pelaksanaan kegiatan di Tanjung Pinang, secara jujur harus diakui untuk capaian sebuah workshop, durasi kegiatan ini tergolong singkat. Tidak tahu persis, namun penting dicatat, bahwa, para penari dari komunitas seni di Batam, Tanjung Balai Karimun, Lingga, Anambas bahkan Natuna belum menjadi bagian pada kegiatan kali ini. Sangat disayangkan tentunya. Melihat potensi yang dimiliki di Kabupaten dan Kota di Provinsi Kepualauan Riau ini, kegiatan hebat ini semestinya membuka kran seluas-luasnya bagi peserta, lalu kemudian di seleksi dan disesuaikan dengan unsur-unsur pendukung lainnya. Karena kesempatan langka dan cerdas ini jelas menjadi harapan bagi komunitas yang ada. Semoga ini menjadi pertimbangan Sasikirana koreoLAB & Dance Camp (SKDC) dimasa-masa yang akan datang. Harapan ini bukan sekedar basa-basi belaka, karena tersiar kabar, tahun depan (2020) gedung Gonggong kembali di isyaratkan menjadi tempat workshop jilid dua.  Bagaimana merekrut, lalu kriteria apa yang mesti dimiliki calon peserta workshop, rasanya penggagas SKDC tak membutuhkan informasi itu dari kita. Lagi pula, sedikit pun tidak terbersit untuk meragukan kemampuan, dan komitmen sosok Keni Soeriaatmaja dalam mengelola. Bukan protes, kok. Melainkan saking berharap sehingga memberanikan diri untuk  mengingatkan.
Masih segar dalam ingatan, saat jeda, Ipit koreografer muda berbakat, yang beberapa kali karyanya menjuarai lomba di tingkat Nasional, begitu antusias melihat para penarinya ikut terlibat dalam kegiatan workshop ini. “Penari saye tu, butuh ini, bang”, katanya setengah berbisik.  Agaknya, Ipit benar-benar terkesan dengan kegiatan ini. Masih menurutnya, sebagai koeografer, kegiatan ini membuka cakrawala berpikirnya tentang sebuah konsep garapan. Di sisi lain, Iwan Irawan Seniman Pemangku Negeri ini tanpak senyum sumbringah dan bangga begitu melihat para peserta workshop yang kini mulai belajar menari dengan hati. Sebagai pemula, batin mereka memerlukan asupan ini, katanya singkat.   
 Momen penting ini, menjadi sejarah bagi banyak orang, baik yang terlibat langsung ataupun tidak. Sejalan dengan itu  agar kegiatan ini tidak tergerus oleh sikap dan kepentingan lain, ia harus dievaluasi  sembari terus mempertajam pengamatan tentang kondisi ril di lapangan. Sebagai pencetus, Keni Suriaatmaja memang harus dalam posisi terus berusaha meningkatkan kwalitas workshop ini sehingga program yang ditawarkan melebihi dari sekedar kegiatan rutinitas.
Kecerdasan dan keseriusan program Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp, kini sedang diuji publik. Tentu saja kita berharap lebih, dengan kapasitasnya yang mumpuni, kegiatan workshop ini akan bermanfaat sehingga bisa membuka tabir yang terkungkung dalam memori individual selama ini.  Lebih dari itu tidak menutup kemungkinan, gairah penari, dan koreografer untuk menciptakan dan menemukan hal-hal yang baru akan bangkit dan menggelora.
Gagasan dan bentuk penciptaan karya tari senantiasa akan selalu berkembang menelusuri zamannya. Tersebab faktor perubahan dan kebutuhan seorang seniman, tanpa disadari  dipengaruhi oleh persinggungan bentuk-bentuk seni yang lainnya. Di sisi lain, seorang kreator memerlukan asupan gizi yang sepadan guna memuluskan pencernaan ide-ide briliannya untuk dimanifestasikan menjadi karya-karya yang bernutrisi tinggi. Kepekaan seorang seniman terhadap lingkungan sekaligus cara pandangnya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi turut memberikan andil yang besar dalam geliat kreativitasnya. Meskipun seringkali seni modern, kontemporer dituding tidak akan bertahan lama, tanpa akar. Pernyataan ini tidak salah, namun tidak pula semuanya benar. Karena dalam proses sebuah karya tari  kontemporer segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Hartati pada kesempatan diskusi menyoroti, keberadaan tempat atau ruang yang selalu berubah, membutuhkan kepekaan dan kearifan seorang koreografer dalam merespon lingkungannya. Sedangkan Eko Supriyanto menyoal tentang memori tubuh manusia, bahwa tumpukan informasi baru tidak serta merta mengubur memori lama namun justru berpotensi memanggil dan menghidupkan kembali memori lama, dimana kemudian intlektualitas dan kreativitas manusia mampu untuk meramu berbagai informasi tersebut menjadi sebuah interpretasi baru. Terima kasih Hartati, matursuwun Eko Supriyanto, jangan pernah berhenti, penat apalagi kikir dengan ilmu yang anda miliki. Generasi muda yang sarat dengan imajinasi itu memerlukan sentuhan, bimbingan tangan dingin koreografer fenomenal  seperti anda. 

Tulisan ini sudah dimuat di Tanjung Pinang Post Oktober 2019

Belum ada Komentar untuk "Menyoal Tubuh Sebagai Media Rekam: KoreoLAB & Dance Camp Di Tanjung Pinang "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2