Membaca Panggung Tari Kepri : Geliat Menyongsong Masa Depan
Foto : Pelangi Budaya Studio Tanjung Balai Karimun
PERKEMBANGAN
tari di Provinsi Kepulauan Riau dewasa ini semakin marak. Bentuk dan corak
kegiatannya pun beragam. Mulai dari menu tradisi, kreasi hingga panggung tari
kekinian (kontemporer). Menanggapi fenomena ini, tidak berlebihan kiranya, jika
ada asumsi masyarakat (seniman) yang mengatakan, keberlanjutan seni tari dan
pendukungnya cukup menjanjikan. Bahkan, nama mahal sekelas Embi C Noer ketika menjadi
pengamat parade tari daerah bulan yang lalu di Tanjung Pinang mengatakan, jiwa serasa disuguhi ledakan energi
optimisme yang menggeliat dalam keindahan kreatifitas gerak, citra dan suara.
Secara jujur harus dikatakan, jika geliat budaya sosial, ekonomi, dan lainnya
di Kepulauan Riau memiliki ledakan dan geliat optimisme seperti yang
ekspresikan oleh garapan tari di parade tari ini, maka bisa diyakini tidak
perlu menunggu sepuluh tahun ke depan Kepulauan Riau akan menjadi salah satu
kutub penting dari kemajuan tari di Indonesia. Agaknya, Embi terhipnotis dengan
antusias para pekarya yang rata-rata
muda ketika itu.
Kekaguman juga datang dari Puji Astuti dosen
Sedratasik Universitas Negeri Padang (UNP), yang pada malam itu berkesempatan
hadir setelah beberapa hari melakukan penelitian lanjutan salah satu tari
tradisi yang hidup dan berkembang di Tanjung Balai Karimun. Doktor paruh baya
yang datangnya terlambat itu harus rela duduk melantai berjam-jam lamanya. Di
penghujung pertunjukan, Ia mengatakan Kepri, keren!. Kepri luar biasa!. Pilihan
diksi ini dilatarbelakangi oleh kekagumannya melihat perkembangan tari,
kebertumbuhan dan kepiawaian para penari yang berimbang antara laki-laki dan
perempuan. Terakhir ia menyoroti para penyaksi pada malam itu yang tumpah ruah
memadati gedung tempat pelaksanaan kegiatan. Persyaratan untuk sebuah event, sejatinya telah dimiliki daerah
ini. Tentu saja Ini merupakan modal terbesar sekaligus pelecut bagi seniman
Kepulauan Riau untuk selalu berbuat dan berkarya.
Sulit
dibantah. Wadah, laman kreatifitas bagi kreator khususnya tari memang dirasakan
lebih menggeliat dari cabang seni lainnya. Hal ini tidak bermaksud untuk
mempersandingkan, akan tetapi lebih didasarkan pada fakta di lapangan. Tidak
hanya plat merah (pemerintah) yang menggangas pertunjukan. Beberapa kegiatan
baik yang bersifat kompetisi maupun tidak, juga diprakarsai oleh beberapa
komunitas seni tari yang ada di beberapa kota dan kabupaten. Misalnya, Pusat
Latian Sanggam pimpinan Pepy Candra dengan titel kegiatan terbarunya Pokez Seni
yang mendapat tempat dari kalangan koreografer dari berbagai provinsi di
Indonesia. Festival Tari Kontemporer ala
Tengker Studio, juga tidak kalah menarik minat penata tari muda untuk mengekplorasi
gagasannya. Dua event ini kebetulan
lahir di kota yang sama yaitu di Tanjung Pinang. Jenis koreografi yang
terbilang baru di Kepulauan Riau ini, cukup mengagetkan banyak orang. Ada
kesan, tari kontemporer-pun kini mendapat tempat dikalangan masyarakat.
Baru-baru
ini, bahkan masih segar dalam ingatan. Bersempena dengan ulang tahun ke 74
Republik Indonesia. Bertempat di lapangan Putri Kemuning Coastal Area, Pelangi
Budaya Studio bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Karimun menggelar kegiatan
dengan tajuk Pelangi Budaya Nusantara pada (2-3/8) yang lalu. Konon kabarnya,
gelaran ini sukses dan dipuji. Empat perkumpulan seni dari Malaysia, satu dari
Singapura, selebihnya dari Indonesia; Aceh, Sumatra Barat, Bengkulu, dan
beberapa kabupaten dan kota di Kepri.
Inisiatif
dan keberanian kelompok Pelangi Budaya Studio patut diacungin jempol. Mereka
menabalkan diri untuk ikut berperan aktif dalam percaturan tari didaerahnya.
Peristiwa budaya yang ada tidak sebatas menampilkan karya dari masing-masing
koreografer, namun bisa menjadi forum silaturahmi budaya dan ruang dialog bagi
seniman tari itu sendiri. Usaha Pelangi Budaya Studio mesti mendapat dukungan
dari berbagai pihak. Tidak hanya dari pemerintah, melainkan kalangan seniman
juga. Tentu saja dukungan dan kerja sama dari berbagai pihak, diharapkan mampu
menciptakan iklim berkesenian yang kondusif. Mungkin ada benarnya, kalau wadah,
ruang bagi seniman hanya mengandalkan kegiatan tahunan dari pemerintah saja,
kesenian di Kepulauan Riau masih bisa berkembang, tapi lambat. Untuk itu
semangat dan keinginan besar dari Pepy Chandra, Tengker, Ahadian dan kawan
seniman lainnya untuk memberikan laman baru kepada seniman mesti kita apresiasi
lebih. Sebagai putra daerah tentu saja mereka merasa ikut bertanggung jawab
terhadap kelansungan seni tari untuk masa hadapan. Kelansungan itu mustahil
terjadi ketika para seniman, koreografer yang ada tidak hadir untuk
menjembatani antara tari masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Keberhasilan
sebuah pergelaran tidak hanya diukur dari kemampuan penyelenggara mendatangkan
beberapa komunitas seni dari dalam dan luar negeri saja. Lebih dari itu ia
harus mampu menjadi proses pembelajaran bagaimana memenej sebuah pertunjukan
dengan baik. Agaknya, kesan ini yang hendak dititipkan oleh Ahadian melalui
kegiatan Pelangi Budaya Nusantara yang ditajanya di awal bulan yang lalu. Alat
ukur sederhananya adalah, kegiatan yang minim anggaran ini bisa berjalan dengan
megah, jika kurang tepat disebut spektakuler. Beberapa sahabat pekerja seni di Karimun
dan seniman yang sengaja datang dari Pekanbaru menyebut kemasan Ahadian diakui
terbungkus rapi dengan sedikit cela, mulai dari tataran konsep, sampai pada
panggung dan unsur pendukung lainnya. Tidak sampai disitu, antusias masyarakat
yang memadati bibir Coasta Area yang sengaja datang menyaksikan gelaran ini,
telah pula membuat wakil Bupati berjanji dihadapan masyarakatnya, akan
menjadikan Pelangi Budaya Nusantara sebuah program tahunan di Karimun.
Jujur,
terobosan yang dilakukan Ahadian untuk lebih menghidupkan iklim berkesenian di
Karimun, cukup membanggakan kita. Ada kesan, ilmu dan pengalaman panggung
bersama dengan nama-nama mahal semasa ia menimba ilmu di Institut Kesenian
Jakarta (IKJ) telah mengasah ketajaman intuisinya untuk mengemas seni pertunjukan
yang berwibawa. Di samping itu modal lain yang tidak kalah pentingnya adalah
kehadiran pemerintah (Dinas Pariwisata) yang turut memberikan nutrisi. Sehingga
kolaborasi yang saham terbesar dari Pelangi Budaya Studio ini, bisa disajikan.
Diakui, tidak mudah untuk menggagas event
berkelas seperti ini, apalagi melibatkan dan menjemput peserta dari
Mancanegara. Di samping keterbatasan dan ketersediaan anggaran, juga diperparah
dengan iklim berkesenian yang sampai setakat ini (kegiatan tari) masih bersifat
non profit.
Sal
Murgianto mengatakan bahwa gairah hidup sebuah cabang seni ditentukan oleh
empat komponen sumber daya manusia yang mendukungnya, yaitu seniman (pelaku
maupun pencipta), penikmat atau pemirsa, pengelola atau penyelenggara
pertunjukan, dan kritikus seni. Ke empat faktor ini cukup menentukan maju
mundurnya suatu cabang kesenian. Dua setengah dari empat komponen tadi, agaknya
Kepulauan Riau telah memiliki. Jujur saja, kita memang sedang menantikan
kehadiran pengelola atau manajer seni, serta kritikus yang andal. Namun perlu
pula diketahui, untuk bagian ini, dibanyak forum dan dialog seni, secara umum
orang berkesimpulan Indonesia krisis kritikus seni. Salah satu yang menguatkan
asumsi ini adalah kebertumbuhan para seniman (kreator) yang tidak berbanding
dengan kritikus seni. Padahal keberadaan pengelolaan seni sekaligus kritikus
yang andal sangat diperlukan agar kehidupan kesenian tumbuh subur dan sehat.
Paradigma
even sekedar program tahunan mesti dikikis secara perlahan. Salah satunya
adalah mengevaluasi penyelenggaraan dengan mempertimbangkan berbagai aspek
mulai dari anggaran, tujuan, sasaran, dan hasil yang hendak dicapai. Sehingga
kwalitas karya seniman dengan sistim penyelenggaraan berjalan selaras. Menu
boleh saja tidak berganti karena terikat oleh juknis, namun yang perlu
mendapatkan perhatian lebih adalah cara menghidangkan kepenikmatnya. Diyakini
menu yang sudah lazim sekalipun, ketika diketengahkan oleh tangan yang tepat,
hasilnya tidak hanya sekedar mengundang selera, lebih dari itu, ia akan menjadi
menu pavorit dari berbagai kalangan.
Hal
ini bukan berarti keberadaan even selama ini tidak berkwalitas. Sejatinya,
capaian terbaik sekalipun juga memerlukan evaluasi. Evaluasi bukan aib,
melainkan menjadi dasar untuk terus berbenah. Yang kemudian akan terpilah
dengan sendirinya, mana capaian untuk
dipertahankan, dan mana pula kekurangan untuk segera dibenahi. Kata evaluasi
harus dipandang sebagai sesuatu yang progresif, bukan sebaliknya untuk mematahkan
dan saling tuding. Layaknya karya
tari, ia tidak lagi sebatas gerak
berirama, namun sudah menjadi sebuah peradaban yang lentur. Oleh karenanya tidak heran, jika perkembangan
tari dan unsur pendukungnya tanpa dikomando selalu tampil menyesuaikan dengan
zamannya. Pengkinian kebudayaan dan kesenian akan terjadi secara lebih cepat
jika banyak dialog dan interaksi antar sesama pegiat kesenian, dan antar pegiat
kesenian dengan masyarakat.
Persoalan
serius perlu mendapat perhatian lebih dari kita semua adalah pemerintah dan
seniman (kaum kreatif) memang punya pondasi yang berbeda. Kaum kreatif itu
pilarnya adalah imajinasi, sedangkan pemerintah itu Standar Operasional Prosedur (SOP). Di lapangan pilar
keduanya ini tidak selalu nyambung. Yang satu punya gagasan bebas, sementara
satunya lagi dikunkung oleh sebuah aturan. Tapi kalau pemerintah hadir sebagai
fasilitator, kemudian seniman hadir sebagai pelaksana lapangan, maka imajinasi
itu bisa di eskpresikan.
Endingnya,
wadah dan laman yang luas, menjadi keleluasaan bagi generasi pengganti untuk berselancar
guna menginterpretasikan simbol-simbol lama yang sarat makna untuk dimanfaatkan
sebagai rangka dialog dengan simbol baru yang kini bertumbuh. Ayo Kepri, kita
kehadapan!. ***
Tulisan ini sudah dimuat di Tanjung Pinang Post September 2019
Tulisan ini sudah dimuat di Tanjung Pinang Post September 2019
Belum ada Komentar untuk "Membaca Panggung Tari Kepri : Geliat Menyongsong Masa Depan"
Posting Komentar