Tari Tradisi dan Perubahan
Foto : Ranahriau.com (Tari Zapin)
Seni
tari sebagai ekspresi manusia yang bersifat estetis, kehadirannya tidak
bersifat independen. Dilihat secara tekstual, tari dapat dipahami dari bentuk
dan teknik yang berkaitan dengan komposisinya (analisis bentuk atau penataan
koreografi) atau teknik penarinya (analisis cara melakukan atau keterampilan).
Sementara dilihat secara kontekstual yang berhubungan dengan ilmu sosiologi maupun
antropologi, tari adalah bagian imanent dan integral dari dinamika sosio-kultural
niasyarakat (Sumadiyo (2005:13). Dasar konsep pikir Sumandiyo ini dapat
dipahami bahwa seni tari merupakan karya manusia yang mengkomunikasikan
pengalaman batinnya, pengalaman batin tersebut disajikan secara indah dan
menarik sehingga timbul daya tarik dan pengalaman batin pada manusia lain yang
menghayatinya.
Kesenian
(dalam hal ini seni tari) lahir dari hasil kreativitas masyarakat, yang
membentuk adanya kreativitas tersebut di antaranya keadaan sosial ekonomi
niasyarakat, letak geografis, dan pola kegiatan keseharian. Saat ini banyak
bentuk kesenian yang hidup dan berkembang di masyarakat yang mencerminkan
kondisi suatu daerah dan menjadi ciri khas serta identitas suatu etnis budaya
daerahnya. Kesenian daerah tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat
tradisional di wilayahnya. Sehingga demikian ia mengandung sifat atau ciri khas
dari masyarakat tradisional pula. Kesenian ini berakar pada adat istiadat
lingkungan masyarakat setempat dan diwariskan secara turun-temurun sehingga
perkenibangannya tidak terlepas dari kehidupan masyarakatnya. Seni tradisi
tumbuh atau lahir dari kebudayaan masyarakat setempat, oleh karena itu kesenian
tradisional terkemas sesuai dengan keadaan lingkungannya. Setiap seni tradisi
yang ada dan berkembang dalam masyarakat memiliki sifat dan ciri khas dari masyarakat
pemiliknya.
Pengembangan
kesenian tradisional sampai saat ini masih menjadi debat panjang di berbagai
kalangan. Debat yang tak berkesudahan tersebur adalah adanya sebagian orang
(masyarakat) yang menginginkan tari tradisi tetap disajikan sesuai dengan
aslinya (artinya tidak boleli dirubah), di sisi lain sebagian masyarakat ingin
tradisi muncul dengan kebaru-baruan, artinya tari tradisi harus didandani
sehingga muncul dengan wajah baru dengan tidak menghilangkan keasliannya.
Perdebatan panjang tentang (melihat) tradisi Indonesia ini inengalir sampai
sekarang.
Berbagai
kecemasan melanda masyarakat tradisional, kegelisahan dan ketakutan akan
kehilangan jati diri bangsa oleh pengaruh budaya asing, yang memang keberadaannya
tidak bisa dihambat dengan cara apapun. Kecemasan ini tidak salah dan wajar,
akan tetapi yang lebih penting dan mendesak untuk dilakukan adalah berbuat dan
berupaya untuk keberlangsungan tradisi. Dengan cara ini, eksistensi tari
tradisi yang hidup dan berkembang di berbagai pelosok tanah air akan bisa
terjaga keberlangsungannya, yang akhirnya tradisi-tradisi baru hadir dan
bermunculan untuk menjawab tantangan itu sendiri.
Pada
era globalisasi saat ini, disadari atau tidak eksistensi kesenian rakyat berada
pada titik yang rendah dan mengalami berbagai tantangan dan tekanan-tekanan
baik dari pengarnh luar maupun dari dalam. Tekanan dari pengaruh luar terhadap
kesenian rakyat ini dapat dilihat dari pengaruh berbagai karya-karya kesenian
populer dan juga karya-karya kesenian yang lebih modern lagi yang dikenal
dengan budaya pop. Kesenian-kesenian populer tersebut lebih mempunyai
keleluasan dan kemudahan-kemudahan dalam berbagai komunikasi baik secara
alamiah maupun teknologi. Hal ini memberikan pengaruh terhadap masyarakat.
Selain itu, perhatian pemerintah lebih memprioritaskan segi keuntungan ekonomi
ketimbang segi budayanya, sehingga kesenian rakyat semakin tertekan.
Perlu
dipahami bersama oleh berbagai komponen yang terlibat bertanggungjawab terhadap
perkembangan seni budaya bangsa Indonesia, bahwa setiap suku di Indonesia
memiliki keragaman dalam seni dan budayanya. Meskipun seni yang berkembang pada
sctiap daerah di Indonesia beranekaragam, namun semuanya memiliki identitas, masyarakat
pendukungnya. Perbedaan jenis kesenian yang berkembang pada setiap bentuk etnik
di Indonesia tersebut, bukan semata-mata karena perbedaan suku dan adat
istiadat yang mereka miliki, tetapi lebih disebabkan oleh faktor kreativitas
yang dimiliki oleh setiap masyarakat yang menumbuh-kembangkannya. Dalam hal ini
Koentjaraningrat (1990:105) menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
mengkreasikan karya-karya keseniannya. Hal itu disebabkan oleh karena manusia
memiliki kemampuan akal untuk membentuk konsep dan penggambaran fantasi,
terutama konsep dan lantasi yang mempunyai nilai guna dan keindahan, dalam hal
ini kemampuan akal yang kreatif. Tanpa hal itu, maka manusia tidak akan dapat
mengembangkan cita-cita serta gagasan-gagasan ideal, manusia tidak akan dapat
mengembangkan ilnni pengetahuan, dan mengkreasikan karya-karya keseniannya pada
masyarakat pendukungnya.
Dalam
hal dialektika keberlangsungan tradisi (Kebudayaan) pada era globalisasi perlu
dipahami konsep pikir beberapa para ahli di antaranya adalah;
Ignas Kleden (1987:214) menarik kesimpulan bahwa
Kebudayaan adalah dialektika antara ketenangan dan kegelisahan, antara penemuan
dan pencarian, antara integrasi dan disintegrasi, antara tradisi dan reformasi.
Sudah jelas bahwa kedna dimensi kebudayaan itu sania-sama diperlukan, sebab
tanpa tradisi atau integrasi suatu kebudayaan akan menjadi tanpa identitas,
sedangkan tanpa relormasi atau tanpa desintegrasi suatu kebudayaan akan
kehilangan kemungkinan untuk berkembang, untuk memperbaharui diri, dan untuk
menyesuaikan diri dengan paksaaan perubahan sosial.
Sekali
lagi persoalan ini memang masih menjadi momok di tengah masyarakat. Kiranya
menjadi persoalan yang harus dipertanyakan di tiap-tiap kebudayaan tak
terkecuali kebudayaan Indonesia modern adalah efek mana saja yang ditimbulkan
oleh tradisi dan reformasi dalam kebudayaan bersangkutan; apakah perimbangan
antara keduanya masih merupakan perimbangan yang kreatif, atau barangkali
terlalu unggulnya salah satu dari keduaaya justru telah membawa resiko yang
terlalu besar bagi kebudayaan bersangkutan, baik resiko bagi identitas
kebudayaan, maupun resiko bagi pembaharuan kebudayaan.
Pemahaman
akan hal di atas adalah, hanya dengan mengandalkan tradisi dan integrasi, suatu
kebudayaan akan terpelihara identitasnya, terjamin kelanjutan hidupnya, tetapi
belum terjamin perkembangannya lebih lanjut. Sebaliknya hanya dengan
mengandalkan transformasi, atau hanya dengan menggunakan reformasi dalam satu
kebudayaan, muncul resiko bahwa terjadi disintegrasi identitas lama, sementara
belum dapar dipastikan apakah suatu identitas baru akan muncul; dan kalau pun
muncul, apakah identitas baru itu dapat memberikan rasa aman dan pegangan baru
yang lebih sesuai?.
Pertanyaan-pertanyaan
ini menjadi prioritas untuk diketengahkan dan dibahas secara mendalam. Kedua
persoalan ini makin kompleks dan tidak terlepas dari kecerdasan kita untuk
melihatnya. Kenapa? Karena bagaimanapun kecanggihan dan perkembangan media yang
luar biasa saat ini terasa sulit untuk dihambat, lalu, sudah selayaknya
kecerdasan intelektual masyarakat pendukung harus jeli melihat dan menerima
perubahan-perubahan yang kehadirannya tak selalu menjadi tumbal peradaban
Indonesia saat ini. Paradigma yang berkembang tidak tentu arah, meskipun saat
ini pemerintah sedang gencar membangkitkan kembali semangat tradisi di setiap
daerah. Keadaan ini harus disikapi dengan kedewasaan berfikir dan disesuaikan
dengan kondisi zaman yang tidak dapat disamakan dengan saat kesenian itu mulai
muncul.
Melihat persoalan ini, Edi Sedyawati (2014:73)
mengatakan bahwa:
Pelestarian budaya merupakan suatu upaya pokok
yang di dalamnya terdapat pcrincian upaya yang merupakan bagian atau unsur.
Dalam kata-kata pelestarian budaya terdapat pengertian bahwa yang dilestarikan
itu adalah eksistensi dari suatu kebudayaan, dan bukan bentuk-bentuk
ekspresinya yang harus dibekukan dan tak boleh berubah atau berkembang.
Pemahaman
pelestarian yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat, tidak membedakan
apa yang dimaksud dengan eksistensi dan ekspresi, melainkan menyamaratakan
keduanya. Sehingga pertentangan perkembangan menjadi sebuah peristiwa yang
belum juga usai sampai sekarang.
Masih
menurut Edi Sedyawati, (2014:73); ada dua macam perlindungan yang mungkin
diperlukan sebagai strategi bagi perkembangan kebudayaan. Yang pertama adalah
perlindungan terhadap kepunahan, dan yang kedua adalah perlindungan legal
terhadap penyalahgunaan substansi budaya dalam hal dipublikasikan atau
dikomersialkan.
Sepertinya
masih banyak pekerjaan rumah kita sebagai bangsa yang memiliki begitu banyak
warisan budaya tradisional. Bagaimana kita harus berupaya agar transmisi dari
generasi ke generasi berjalan mulus, tanpa ada kekayaan budaya yang terbiarkan
hilang di tengah jalan. Di sisi lain di waktu yang bersamaan kita melihat
pacuan modernisasi sering kali diiringi dengan pandangan merendahkan terhadap
segala sesuatu yang bersifat tradisional. Sering kita mendengar, tradisi adalah
jadul, kolot dan tak relevan lagi dengan kehidupan masa kini.
Pertanyaannya
adalah bagaimana kita bisa memilah-milah khazanah budaya tradisional kita, mana
yang akan dipertahankan seperti sediakala, dan mana pula yang harus dan
mendesak untuk direposisi, dan mana pula yang harus ditafsir ulang. Suatu hal
yang harus mendapat perhatian bersama adalah untuk tidak menganggap
tradisi-tradisi seni yang telah tumbuh itu sebagai sesuatu yang beku dan tak
pernah berubah atau berkembang. Pada dasarnya kreativitas itu ada di dalam
tradisi juga. Inilah fakta yang perlu lebih banyak diungkapkan kepada khalayak.
Mengungkapan itu akan sangat efektif apabila dibahas contoh-conthnya.
Terkadang,
kita lihat dalam sejarah seni kita bahwa genre-genre baru tercipta di dalam
tradisi seni yang mantap. Sikap yang dapat muncul dari sini adalah sikap yang
memandang secara kritis apa yang mereka miliki dan bagaimana mengimbanginya
dengan nilai-nilai budaya lokal, termasuk sikap kritis dari bangsa Indonesia
sendiri terhadap apa yang sudah dimiliki. Terkait dengan globalisasi, mitos
yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan
membuat dunia seragani. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati
diri. Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau
kekuatan budaya global.
Tentu
saja anggapan di atas tersebut tidak sepenulinya benar. Kemajuan teknologi
komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak
berguna. Dengan kata Iain kita harus berkonsentrasi kepada hal-hal yang
bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri
sebagai modal pengembangan ke arah yang lebih baik. Kondisi ini sedikit banyak
semakin membuat tersisihnya kesenian tradisional Indonesia dari keliidupan
masyarakat Indonesia sendiri. Bentuk-bentuk ekspresi kesenian etnis Indonesia,
baik yang rakyat maupun istana, selalu berkaitan erat dengan perilaku ritual
masyarakat pertanian. Dengan datangnya perubahan sosial yang hadir sebagai
akibat proses industrialisasi dan sistim ekonomi pasar, dan globalisasi
informasi, maka kesenian kita pun mulai bergeser ke arah kesenian yang
berdimensi komersial.
Kuswarsanryo,
(2009:1 16) mengatakan bahwa: Kesenian sebagai bagian dari isi kebudayaan,
memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Kesenian merupakan
ungkapan kreativitas dari kebudayaan yang tidak dapat terlepas dari masyarakat
pendukungnya, yang memiliki keragaman dalam kehidupan masing-masing.
Realitas
tersebut merupakan indikasi bahwa seni pertunjukan tradisional saat ini sudah
tidak terlalu ketat aturan untuk pementasannya. Demikian pula halnya dengan
durasi pementasannya, sudah banyak yang mengalami perubahan, seperti beberapa
tradisi yang dikenal telah mengalami perubahan misalnya jika sebelumnya kita
mengenal bahwa lama pementasan seni tradisi hitungan jam dan bahkan ada yang
berhari-hari sekarang telah diedit sesuai dengan kondisi dan suasana
pengundang.
Perubahan
ini adalah konsekwensi dari permintaan dan dinamika pasar. Di samping itu
pengaruh perubahan kultur masyarakat yang tidah beranjak dari pola tradisional
menuju ke arah global, memungkinkan permintaan kesenian tari yang singkat dan
padat. Meski kita tidak mengelak bahwa secara umum bahwa masyarakat kita belum
bisa dikatakan modern, namun kenyataan yang kini terjadi adalah fenomena
perilaku masyarakat yang melegitimasi kehidupannya dengan label modern, yang
ditandai dengan pola perilaku dan tata karma yang meniru gaya budaya modern ala
Barat.
Globalisasi
kebudayaan telah mengikuti pola yang sama dengan globalisasi ekonomi.
Kebudayaan universal muncul, disebarkan melalui media global yang kebanyakan dikendalikan
oleh dan untuk kepentingan modal transnasional. Dalam pandangan umum tentang
keberlangsungan kesenian tradisional sangat sulit bagi masyarakat pendukungnya
untuk tetap melestarikan kesenian tradisinya. Prinsip keanekaragaman
mengharuskan bahwa keanekaragaman kebudayaan dipertahankan, kebudayaanlah yang
memberikan kepada warga. Dalam konteks ini sudah terbukti bahwa kesenian
tradisi baik yang hidup dan berkembang di kalangan Istana maupun di kalangan
rakyat biasa telah mengalami perubahan baik bentuk maupun fungisnya.
Tradisi
kebudayaan lokal merupakan bagian penting dari rasa bermasyarakat, dan membantu
memberikan rasa identitas kepada masyarakat. Maka dari itu pembangunan
masyarakat akan selalu berusaha untuk mengidentifikasi elemen-elemen penting
dari kebudayaan lokal, dan upaya untuk melestarikannya. Paradigma seni
pertunjukan yang berkembang dalam komunitas masyarakat telah mengalami penyesuaian
diri dengan kebutuhan masyarakat.
Berkaitan
dengan tradisi, budaya masyarakat dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan
dan pergeseran. Dimensi ruang dan waktu inilah yang mewarnai seni pertunjukan
secara umum. Secara turun-temurun seni pertunjukan tradisional pada awalnya
berkaitan dengan peristiwa-peristiwa upacara atau ritual tertentu. Kenyataan
ini yang membingkai bahwa seni pertunjukan tradisional menjadi sebuah alat
untuk mencapai tujuan. Di sisi lain sebenarnya kesenian tradisional mempunyai
kekuatan yang secara mandiri dapat digunakan untuk mempertahankan hidup atau
keberlangsungan kesenian itu di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang makin
berkembang dan semakin kompleks. Pelestarian budaya pada dasarya keseluruhan
upaya untuk membuat sudut kebudayaan terjaga eksistensinya, dan bukan
semata-mata wujud ekpresinya. Dalam hubungan ini orang yang sering salah kira
dengan mengartikan pelestarian sebagai usaha agar bentuk yang telah dikenal
tidak berubah. Memang pemeliharaan khazanah merupakan bagian dari upaya
pelestarian, sebaliknya berbagai upaya pengembangan repertoar dan gaya ungkap
adalah bagian yang tak terpisahkan pula dari upaya melestarikan eksistensi
suatu kebudayaan.
Numpang promo ya Admin^^
BalasHapusajoqq^^cc
mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
mari segera bergabung dengan kami... (k)
di ajopk.com ^_~
segera di add Whatshapp : +855969190856