Catatan Gelaran Parade Tari Daerah 2019 : Jempol Untuk Penata Tari Muda

Tari Legenda Moyang Seraga dari Angsana Tanjung Balai Karimun

SEBELAS penata tari dari enam Kabupaten dan Kota se Provinsi Kepulauan Riau (minus Anambas) bersaing ketat di panggung parade tari daerah, Sabtu (27/7) lalu. Diakui, beberapa nama penata tari masih didominasi oleh nama-nama lama, dan mereka kini semakin matang. Di sisi lain, kehadiran nama barupun mengembirakan. Seolah-olah kedatangannya, mampu mendekati pendahulunya jika kurang elok dikatakan sejajar, alhasil kompetisi tahunan Dinas Kebudayaan malam itu terasa padat dan berat.
Kebanggaan tidak sampai disitu, melainkan kita berdecak kagum begitu melihat kehadiran para penari yang masih muda belia namun berkemampuan merata. Muaranya, tontonan (parade tari daerah) yang kali pertama diadakan di Aula Kantor Gubernur Kepulauan Riau itu tidak berlebihan jika dikategorikan pertunjukan yang bernutrisi tinggi. Kiranya apresiasi dan rasa bangga layak kita berikan terhadap pekarya pada malam itu, karena mereka  pantas diberi sekaligus berhak menerimanya.

Tari Pulau Putri Wan Sendari Batam

Kekayaan tradisi telah memberikan inspirasi kepada banyak orang. Oleh karena itu tradisi harus diapresiasi, boleh dipertanyakan dan layak pula untuk diinterpretasikan  sesuai dengan kekinian. Artinya tradisi tidak hanya untuk dilestarikan saja, akan tetapi juga layak untuk dikembangkan. Tidak salah, namun tak pula sepenuhnya benar,  jika ada yang berpendapat bahwa kelansungan sebuah tradisi sangat bergantung dari munculnya inovasi-inovasi yang terus menerus dilakukan pendukungnya. Agaknya bagian ini, Provinsi Kepulauan Riau tidak perlu meragukannya. Kegiatan parade tahunan yang diadakan di tiap kabupaten dan kota telah menjadi indikasi. Artinya, untuk sumber daya manusia kita telah memiliki lebih dari cukup, mulai dari penari, pemusik, dan penata tari itu sendiri.
Sedangkan untuk urusan penonton,  kita berani menggaransi sekaligus merupakan kebanggaan tersendiri bahwa masyarakat penonton itu sudah terbentuk di sini. Sebagai bukti, dan diluar ekspektasi banyak orang, bahkan cibiran, kesangsian, dan prediksi parade tari daerah yang diselenggarakan jauh dari keramaian akan sepi penonton, akhirnya terpatahkan. Panitia dalam hal ini Dinas Kebudayaan tidak mau jemawa, mereka juga tak mau menanggapi kecemasan banyak orang secara berlebihan. Baginya, Aula Wan Sri Beni Dompak yang tumpah ruah, ketika parade tari daerah malam itu sudah dianggap cukup menjawab kegelisahan itu.
Bukti keseriusan lain, kegiatan sekelas parade tari tidak hanya sekedar rutinitas tahunan, Dinas Kebudayaan mendatangkan dua tim eksekutor dari Jakarta. Nama Eko Supriyanto di gadang-gadang akan ikut salah satu tim juri membatalkan di menit-menit akhir karena satu hal, yang kemudian digantikan oleh penata musik hebat Indonesia, nama mahal itu adalah Embi C Noer. Kemudian Ertis Yulia dari Taman Mini Indonesia Indah. Di tambah satu orang dari Kepulauan Riau  saya sendiri. Kehadiran dua tim eksekutor tersebut lebih kepada untuk memberikan rasa aman dan menepis syak waksangka peserta terhadap independensi pengadil dalam memberikan vonis (asumsi penulis). Hal ini bukan berarti, di provinsi ini tidak ada. Kepulauan Riau menaruh nama-nama mahal yang kemampuan dan kepiawaiannya tidak perlu diragukan lagi. Satu dari sekian banyak  nama itu adalah Said Parman, Seniman Pemangku Negeri (SPN), koreografer handal, tokoh dan sederet label yang diberikan masyarakat kepadanya. 

Tari Legenda Moyang Seraga Ke Jakarta
       Sebagai pembuka lomba, tari Siluman Kere Air Bertuah yang tampil diurutan pertama secara garapan peserta dari Lingga ini tampil beda. Jujur, garapan penata tari Febriansyah ini sukses di menit awal, peran kostum ditambah dengan gerak  yang lebih berorientasi ke gerakan binatang Kera, membuat tari ini memukau. Namun kehilangan roh begitu memasuki pola dengan ritme cepat, apalagi akrobatik. Kalau saja, kecerdikan koreografer bertahan dengan pola awal yang kemudian terus dikembangkan, diyakini garapan sanggar Sang Setie ini akan berbicara lain. 
Sorotan lain ada pada Natuna yang enerjik. Tari Maduh Segeghom Betapih Lumpuh menyuguhkan kepiawaian penari yang rapi dan terukur. Penari perempuan dan laki-laki muda itu nyaris sempurna memanfaatkan tubuhnya dalam menjejal alur tari. Sangat disayangkan, agaknya luput dari amatan Kasyfal sebagai koreografer, di samping properti yang sudah familiar, ditambah dengan  pemanfaatannya yang tidak dielaborasi lebih, sehingga properti seolah-olah terpisah dari tari itu sendiri. Persoalan berbeda ada pada suguhan tari Legenda Batu Ampar kota Batam. Sajiannya menarik, namun tidak berkembang. Padahal, secara kwalitas penarinya terbilang mumpuni. Tidak bisa dimungkiri, proses yang minim akan terlihat pada hasil. Beruntunglah kehadiran musik yang ditangani Purnawan sedikit banyak bisa menyembatani antara keinginan dan kebutuhan dari garapan. Tidak bisa ditawar, persoalan perekrutan penari mesti menjadi perioritas bagi Givo Studio kedepannya, jika ingin berprestasi dan maju. 
          Hal lain yang mesti mendapat perhatian lebih penata tari kita kedepannya adalah kecendrungan sinopsis yang panjang dan berbelit. Tidak sampai disitu, persoalan menjadi lebih runyam ketika penata tari ingin menceritakan itu semua secara tuntas dalam waktu 7 menit. Sungguh ini merupakan sebuah keterpaksaan yang luar biasa. Akibatnya, beberapa garapan terasa sulit menghindari yang  kemudian terjebak pada gaya garap sendratari. Sekalipun demikian, beberapa nomor karya masih percaya dan mengandalkan tubuh sebagai substansi dasar  pertunjukan tarinya. Tari Pulau Putri misalnya. Garapan Iskandar sentuhan tangan dingin Sunardi dan tatanan musik oleh Anggara Satria  ini terkesan mewah, runut dan rapi. Tidak hanya kostum dan make up yang memberikan nilai lebih pada  garapan ini, melainkan  pengolahan properti dengan beragam interpretasi, ditambah dengan kekuatan penari yang memiliki jam terbang, akhirnya sukses mengantar karya ini dengan baik. Karya tari dikatakan berhasil secara koreografi tidak cukup hanya dengan mengkomunikasikan ide lewat bentuk, namun karya tari harus bisa menyentuh penonton karena komposisinya yang hidup. Mungkin bagian ini yang luput diarifi oleh Iskandar.     
Bijak yang disampaikan oleh Rendra dalam Sal murgiyanto (makalah); penata tari bukan sekedar mengopi yang ada dalam tradisi tetapi berusaha memperkembangkan tradisi sehingga pada gilirannya tradisi juga akan memperkembangkan penata tari. Kearifan lokal penata tari muda kita saat ini patut diacungin jempol, sebagai bukti hasil kontemplasi yang mengakar kuat pada sumber-sumber tradisi, atau memanfaatkan kekayaan tradisi sebagai pijakan, tidak saja membuat karya tersebut beridentitas, melainkan akan menjadi lahan berbagai interpretasi tentu saja bagi imajinasi yang subur. 
Karya kekinian tidak lagi terpaku pada bentuk, namun perlu diselaraskan dengan isi. Bentuk pertunjukan tidaklah mesti menjadi rigid, untuk itu  seorang penata tari harus memahami nilai-nilai tradisi dan hakikat dari kreatifitas. Tanpa pemahaman itu, niscaya wajah tari sulit untuk diseleraskan dengan tuntutan kekinian. Agaknya pemahaman itu dimaknai secara tuntas oleh Sinta Trilia Rossa dari Angsana Tanjung Balai Karimun. Di akui, tari dengan titel Legenda Mayang Seraga patut dinilai lebih dari pesaingnya. Nakalnya Sinta, seolah ia tak mengizinkan mata penontonnya berkedip, karena kejutan-kejutan indah, menarik, dan menggelitik mampu  menghiasi di beberapa bagian karyanya. Baginya, karya tari tidak hanya sekedar mengungkapkan perasaan dan pengalaman estetik saja. Melainkan, menelisik kembali keberadaan tubuh, sebagai aspek penting seni tari. Kelebihan Sinta, yang nyaris tak dimiliki oleh penata tari lainnya adalah memiliki penata musik yang sekaligus pasangan hidup. Kolaborasi dua insan ini mampu memberikan nutrisi bagi karyanya yang berakhir dengan pujian. Selain itu Sinta berhasil menyulap sekaligus menciptakan para penari yang rata-rata seumuran dengan kepekaan rasa yang mumpuni. Endingnya, keputusan tiga tim eksekutor pun berakhir tanpa cela.
Sinta, asah terus mindamu. Karena Kepulauan Riau membutuhkan sosok genit mu di panggung.***

Tulisan ini sudah dimuat di Tanjung Pinang Post Agustus 2019

Belum ada Komentar untuk "Catatan Gelaran Parade Tari Daerah 2019 : Jempol Untuk Penata Tari Muda"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2