Parade Tari Modern Kepulauan Riau 2019 : Tari Melayu Bercerita Bergerak Bertenaga
Catatan : Embi C Noer
Foto : Disparbud Kepri
Menyaksikan sebelas karya penata tari dari Kepulauan
Riau dalam acara malam parade tari 2019, jiwa serasa disuguhi ledakan energi
optisme yang menggeliat dalam keindahan kreatifitas gerak, citra dan suara.
Waktu berjam-jam tak terasa. Secara jujur harus dikatakan, jika geliat budaya sosial,
ekonomi, dan lainnya di Kepulauan Riau memiliki ledakan dan geliat optimisme seperti
yang ekspresikan oleh garapan tari di parade tarinya, maka bisa diyakini tidak
sampai sepuluh tahun ke depan Kepulauan Riau akan menjadi salah satu kutub
penting dari kemajuan di Indonesia.
Tak ada yang sempurna di dunia ini selain Yang Maha
Pencipta. Karenanya ada beberapa catatan yang akan disampaikan. Pertama
penggunaan istilah ‘tari daerah’. Apakah tari daerah adalah jenis (genre) tari
atau hanya menunjuk pada asal dari karya tari tersebut? Dalam kesenian hanya
dikenal jenis Seni Rakyat (folk/pop), Seni Klasik (sophisticated), Seni
Moderen (progressive), Seni Kontemporer, dan Seni Eksperimental.
Jika mengacu pada jenis, maka seluruh karya tari yang tampil pada acara parade
lebih tepat disebut Parade Karya Tari Moderen/Kontemporer Kepulauan Riau.
Hal ini penting disampaikan agar pelabelan sebuah acara besar seperti parade
tari tingkat propinsi tidak mendapat ‘hak’ pelabelannya secara benar dan jelas.
Maka artinya, parade tersebut adalah gelar karya kreatifitas budaya seni
moderen dan atau kontemporer dari propinsi Kepulauan Riau.
Ke-sebelas karya tari moderen yang ditampilkan pada
malam parade, memiliki keunikan dan perbedaan bentuk garapan sekalipun warna
budaya Melayu tetap dihadirkan sebagai ‘benang merah’. Kehadiran warna Melayu menjadikan
seluruh karya kokoh dalam mengolah warna budaya khasnya. Sikap kokoh dalam
warna budaya merupakan modal budaya yang sangat menentukan untuk menjaga keutuhan
dan kemajuan suatu budaya di era budaya global yang sangat ganas dalam
menggarap ‘penyeragaman’. Menghindari dari penyeragaman semena-mena karena
sadar, bahwa penyeragaman adalah sikap ‘peremehan’ simplifikasi, dan
simplifikasi sangat potensial terjadinya stagnasi yang berujung pada terjadinya
dekadensi.
Dalam parade tari 2019 tidak satu pun karya yang tampil
memperlakukan warna Melayu sebagai tempelan. Warna Melayu di setiap karya
ditampilkan oleh penata tari sebagai ‘pertarungan’ konsep yang ketat antara
tradisi lama dan trend kekinian. Dalam pertarungan antara tradisi dan trend
kekinian, trend kekinian meraih kemenangan progressivitas dinamika tempo,
irama. Seluruh karya peserta tampil dengan sangat bersemangat mengolah gerak
dan suara dari pola irama 6/8 yang khas menjadi progresi penuh variasi kejutan
dan beberapa terasa merupakan hasil dari konsep yang cukup rumit (complicated).
Seluruh penari pun terlihat mampu menjaga stamina konsentrasi dan energinya.
Hanya saja, para penari terlihat kesulitan dalam membangun progresi emosi
inetensitas dramatik, karena karya yang berdurasi kurang dari sepuluh menit ( 6
menit ) tersebut dipadati berbagai perubahan fragmental. Bagaikan sebuah karya
montage pada video clip musik, karya tampil sebagai sebuah ‘kilasan’. Setiap moment fragment tidak memiliki cukup
ruang dan waktu (normal) untuk memenuhi struktur plot. Mini fragmet jika ingin
tetap tampil utuh dalam arti tercapai nilai keindahan dari konsep ‘cepat’ dan
bukan sebuah ‘keterburu-buruan’, karya harus dikerjakan dalam ruang waktu
‘mikro’ dengan konsep dan kemampuan penari yang memiliki waktu kerja yang cukup
bahkan mungkin di atas waktu yang dibutuhkan oleh proses garapan yang normal.
Apa yang terjadi pada pola tari, terjadi juga pada
pola garapan musik. Selain harus sigap merespon jiwa gerak yang dipadati
perubahan fragmental, musik secara internal pun tengah terjadi pergulatan yang
sama. Komposer harus bekerja keras untuk tetap konsisten melayani setiap
kemungkinan dialog dengan dinamika gerak sekaligus tak mau tertinggal untuk
menemukan ekspresi yang kekinian tanpa kehilangan irama, dinamika dan warna
khas. Sama halnya pada unsur gerak, musik juga harus bekerja di ruang dan waktu
mikro. Secara umum seluruh karya musik yang tampil dalam parade berhasil
mengimbangi gagasan penata tari dan penampilan para penari. Yang belum nampak
disadari adalah saat melakukan penguatan musik dengan menggunakan soundsystem.
Nampaknya tak cukup waktu untuk mengatur jarak mikrofon dengan instrumen. Jarak
yang terlalu dekat antara mikrofon dan instrumen memerlukan penanganan yang
teliti agar warna dan artikulasi instrumen tidak pudar. Proporsi kekuatan
volume untuk mencapai proyeksi yang semakin jelas, bukan hanya sekedar keras. Dalam
suara Keras bukan Jelas karena Keras itu Volume sedangkan Jelas adalah Artikulasi.
Untuk Tata Artistik, beberapa rancangan busana dalam
parade tari 2019 sangat mengagumkan, khususnya dalam mengolah bentuk, corak dan
warna yang khas. Tata rias secara umum tidak ada yang khusus hanya beberapa
penampil yang menggunakan tata rias karakter dan efek. Hal yang perlu
disampaikan untuk tata rias adalah belum adanya upaya untuk menggarap rias
mata, mengingat mata dalam karya tari sangat vital. Properti pendukung
penampilan seperti pola konfigurasi yang dibentuk oleh tubuh penari, belum berhasil
menampilkan sebuah proses transisi yang maksimal.
Sebagai penutup, sangat sayang dan sempit pandang jika
mengapresiasi seluruh penampilan karya seni dalam parade tari 2019 hanya
berkisar pada soalan teknis. Hal utama dan paling utama adalah perlu
memperhatikan dan menikmati hasil karya secara utuh tanpa harus terganggu pada
hal yang sesungguhnya merupakan wilayah proses yang sedang berlangsung. Selamat
untuk budaya seni Kepulauan Riau. Selamat berproses terus dalam keindahan. (*)
Belum ada Komentar untuk "Parade Tari Modern Kepulauan Riau 2019 : Tari Melayu Bercerita Bergerak Bertenaga "
Posting Komentar