Sekolah Favorit itu Dudukan Siswa di Lantai


SEBENARNYA, jarak tempuh dari rumah dengan sekolah anak gadisku tak lebih dari 3 menit, jikapun macet, dengan kendaraan roda dua waktu 5 menit merupakan waktu maksimalnya. Namun herannya, pukul 06.30 atau selambat-lambatnya 06.45 aku didesak untuk segera mengantarkannya ke sekolah. Sekali waktu pernah ku bilang, idealnya, kataku pada anak gadisku, kalau kakak masuk pukul 07.15 berangkat dari rumah pukul 07.00 itu sudah pas. Belum selesai saranku, anak gadisku langsung memotong ucapanku, “Kakak ngak mau telat Yah, gerutu anak gadisku itu sekenanya. “Ayah ini lucu,imbuhnya lagi, anaknya datang lebih awal, bersemangat, tidak mau telat, apalagi alpa,bukannya dipuji, malah disuruh ngak usah cepat-cepat kesekolah. Apa ngak kebalik tu, Yah, katanya menyindir aku. Kali ini semprotan dan omelan anak gadisku panjang sekali untuk ku. Dalam hati aku bergumam, dasar anak sekarang, dari kandungan – melahirkan, setelah ASI, disambung dengan susu formula bermerek. Intinya urusan gizi, vitamin dan lainnya benar-benar menjadi perioritas bagi orang tua. Barangkali ini bedanya, seorang anak yang dibesarkan dengan hanya air tajin seperti, Ayahnya.
Biar anak gadisku tak nyerocos terus, “Iya, Ayah ngerti, jawabku singkat, tapi kalau menunggu 30 menit itu kan kelamaan kak, sambungku lagi. “Iya, sih Yah, akan tetapi dari pada terlambat, menunggu jauh lebih baik dan terhormat, sambung anak gadisku sembari memasang tali sepatunya. Kali ini aku benar-benar susah menahan tawa. Aku heran, tak seperti biasanya anak gadisku ngotot dan nyerocos sepanjang ini. Dalam hati aku berkata, ah, mendingan aku nurut aja, selagi itu positif kenapa aku harus menghunusnya dengan berbagai pernyataan yang menurutku baik, namun tidak berdasarkan pertimbangan dan logikanya.
Zhya Intani. Nama anak gadis kami itu. Alhamdulillah, ia bisa masuk dan diterima di sekolah pujaannya. Kini ia duduk di kelas tujuh. Prestasinya lumayan membanggakan kami sebagai orang tua yang kebetulan juga guru. Hampir semua kegiatan ia ikuti. Sayang, ending dari beberapa kegiatan membuat anak gadisku sedih. Perekrutan anggota baru untuk Marching band misalnya. Proses latihan dan ketepatan waktu selalu ia patuhi, namun ia gagal di tes akhir dengan materi PBB. “Ayah, kakak gagal di seleksi Marching Band, kata anak gadisku satu waktu belum lama ini. “Ngak apa-apa kak, ekstra Marching itu selain berat, panas lagi, bikin kaki pegal dan lama-lama kulit kita bisa hitam, kataku menghibur. “Kegagalan kakak ini mestinya tidak terjadi, kalau Bunda memberi tau kepada pelatih kakak itu. “Maksud kakak”, jawabku pura-pura ngak tau. Iya, yang melatih dan menseleksi Marching Band di sekolah kakak itu kan anak murid Bunda, jawab anak gadisku. Kami memang sepakat, tidak mau mencampuri dan memanfaatkan kesempatan untuk meloloskan anak gadis kami melalui kecurangan. Sekalipun harapan lolos seleksi itu juga termasuk harapan kami sebagai orang tuanya.
Hanya berselang 2 minggu, anak gadisku curhat lagi. Keinginan besarnya untuk menjadi pengurus OSIS di SMP pujaannya kandas tak berbekas. “Perekrutan pengurus OSIS di sekolah Kakak, ngak cerdas Yah, katanya dengan mimik serius. “Memang gimana caranya, Kak, kataku lagi. “Peraturan dari mana, siapa yang membuat dan merumuskan, lalu sampai pada kesimpulan bahwa, orang yang juara kelas saja yang layak menjadi pengurus OSIS, imbuhnya dengan nada tanya. Sumpah, aku kaget, dan senang dengan kosa kata yang dipakai anak gadisku. Dalam hati aku bergumam, Alhamdulillah, ternyata anak gadisku itu sekarang sudah rajin membaca di sela-sela tugas sekolahnya yang menumpuk. Suatu hari aku pernah mengatakan pada anak gadisku, jika kakak mau hebat, dan ingin menguasai dunia, maka kita harus banyak membaca, kataku ketika itu. Semenjak itu, beberapa kali ia memamerkan judul buku yang ia pinjam di perpustakaan sekolah pujaannya. Aku tersenyum, Kakak benar-benar buat ayah bangga, kataku sambil mengacungkan jempol kananku padanya. “Ah, Ayah lebai katanya, sambil tersipu malu menanggapi pujianku. “Ah, ngak apa-apa kakak gagal sekarang, Yah, tahun depan kakak masih bisa jadi pengurus OSIS, katanya menghibur diri. Mendengar pemaparan anak gadisku, aku jadi terenyuh, tapi apa boleh buat. Aku tak mau berbuat terlalu jauh, selain hanya memberi pengertian pada anak gadisku itu.
Hampir tiga bulan ia menyimpan rahasia besar pada kami. Kecintaan anak gadisku pada sekolah pujaannya luar biasa. Rahasia besarnya itu terbongkar lantaran di perjalanan aku menolong siswaku yang tergeletak di jalan akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Anak gadisku baru kuantar ke sekolahnya setelah siswa yang malang tadi ku tolong. Begitu anak gadisku turun dari motor, ia berkata, “Ayah tau ngak, hari ini jatah kakak duduk di lantai. Jadi kalau terlambat, siswa dihukum dengan cara belajar duduk dilantai ya kak, kataku pada anak gadis ku itu. Duduk di lantai itu bukan hukuman, Yah. Lalu, kataku lagi tak sabaran. Dari awal kakak masuk sekolah sampai saat ini, kelas kakak kekurangan 8 meja dan 8 kursi. Intinya tiap hari, ada 8 siswa/I yang duduk dilantai. Gitu, Yah, kata anak gadisku sambil bergegas masuk halaman sekolahnya.
Aku tak habis pikir, ternyata sekolah favorit anak gadisku ini mengecewakan. Aku benar-benar penasaran dan punya keinginan besar untuk mengetahui lebih jauh. Takmau berlama-lama dengan perasaanku yang tak menentu, akhirnya aku putuskan untuk menjemput anak gadisku ke sekolahnya. Betapa kagetnya diriku begitu menyaksikan ruang belajar anak gadisku. Di luar dugaanku, ternyata meja dan kursi yang digunakan sangat tidak layak dipakai. Tak satupun, meja itu yang sama tingginya, posisi tegak mejapun pada umumnya miring dan bengkok. Meja dan kursi di ruang itupun gado-gado, ada yang terbuat dari plastik, dan ada pula dari kayu. Yang jelas, selain dari meja dan kursi guru, tak satupun yang layak digunakan oleh siswa.
Aku tak habis pikir, kenapa pihak sekolah mendiamkan persoalan serius ini. Kemana komite sekolah pujaan siswa ini. Atau kepala sekolah sengaja membiarkan dan mencari aman. Simalakama, diminta sumbangan untuk pengadaan meja dan kursi pada orang tua siswa dianggap pungli. Berharap, bantuan dari pemerintah, entah bila turunnya.
Pertanyaan besarku, demi sekolah favorit, anak gadisku rela duduk di lantai?…..

Belum ada Komentar untuk "Sekolah Favorit itu Dudukan Siswa di Lantai"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2