Geliat Sanggam; Wan Harun Menggigit, Irfan Setiawan di Puji


BERBEDA dengan ulang tahun sebelumnya. Memasuki usia ke 22 tahunpusat latihan Tari Sanggam yang dinahkodai Pepy Candra menggelar Lomba Tari Tunggal. Lomba yang belum begitu familiar ditengah masyarakat ini mendapat tempat dari kalangan para penata tari diberbagai daerah, sebut Yogjakarta, Jawa Barat, Padang, Medan, Pekanbaru, dan Bangka Belitung. Penata tari Kepulauan Riau pun tidak tinggal diam sebagai bukti, koreografer muda berbakat dari Batam, Bintan, Lingga dan Tanjung Pinang telah memberi warna tersendiri pada pertunjukan (14-15 Maret) di pelataran gedung Gonggong malam itu.



Menelusuri perjalanan panjangnya, kali ini Sanggam menjemput penonton untuk dengan cermat menyaksikan liukan tubuh-tubuh yang bergerak di atas panggung. Lebih jauh, Sanggam juga berkabar kepada para penonton untuk mempertimbangkan dan membaca tari sebagai sebuah dokumen modernitas. Ada kesan, gagasan ini merupakan simbol ketunakan Husnizar Hood dan Pepy Candra untuk membawa Sanggam berlayar memperkenalkan perkembangan tari (kontemporer) pada masyarakat Kepulauan Riau. 
Usaha pusat latian tari yang tidak lagi muda ini patut diacungin jempol, Idenya brilian, tujuannya cerdas, hasil pertunjukan dua malam itu pun menjanjikan. Ada rasa bangga pada mereka (penata tari muda) yang telah menciptakan karya baru lalu mempertunjukannya pada masyarakat luas. Kehadiran para peserta dari dalam dan luar daerah mengisyaratkan pada kita semua bahwa ruang, wadah adalah muara dari rutinitas bagi para penari, penata tari yang tentu saja terlatih dan terpilih. Tidak sedikit dari para koreografer muda kita , untuk menjejal hasil kontemplasinya, mereka harus rela merogoh koceknya lebih dalam. 
Panggung berlantai putih berukuran 4 x 5 meter dengan latar jalan raya tersebut menjadi saksi ketulusan dan kegigihan mereka. Sebagai koreografer muda berbakat, beberapa nomor tari tampil pada malam itu cukup menjanjikan masa depan tari di Indonesia. Di sisi lain, takbisa pula dipungkiri, banyak diantara mereka (memang) masih perlu di asah, baik wawasannya, koreografi,pencarian gagasan karya yang baik serta penggalian akar tradisi. Sehingga penyajian karya tari tidak hadir sekedar mengedepankan persoalan tanpa sebab, asal aneh, harus unik, bahkan ada kesan kostum tidak lagi menjadi perioritas. 
Entah disengaja atau kebetulan, apapun konsep garapannya, seolah-olah telanjang dada ibarat (menjadi) identitas dasar untuk sebuah garapan yang bernama tari kontemporer.Selain itu, kuat dugaan. khususnya penampil malam pertama, karya tersaji tanpa konsep yang matang, suasana tanpa sebab berkeliaran di panggung, dan tidak sedikit pula diantara para penari berimprovisasi suka-suka. Keinginan tubuh untuk bercerita kental terasa, bergerak pelan untuk menciptakan suasana menjadi pilihan, alur gerak yang tidak linear terkadang membuat mereka kehilangan keseimbangan dalam bergerak. Untuk bagian ini, bisa dipastikan, salah satu penyebabnya adalah karya tari yang mereka usung ke panggung lomba dikerjakan dalam waktu yang relatif pendek. Namun perlu dicatat, modal terbesar mereka yang patut dibanggakan adalah punya keinginan yang kuat dalam berbuat. 
Mengungkapkan perasaan, khayalan, hasil pengamatan, dan pengalaman melalui media atau simbol non verbal agaknya menjadi kebutuhan setiap orang. Namun bagi penata tari, bagaimana ia melahirkan melalui wujud artistik yang menuntut kepekaan intuisi dan kecerdasan tubuhnya. Oleh karenanya melahirkan karya tari yang menyajikan realitas kehidupan masa kini, para penata tari tidak hanya terjebak pada gaya garap yang asal jadi, sarat isi, mengesampingkan bentuk dalam menciptakan yang baru demi menghindari hal-hal yang sudah lazim. 
Terlalu dini memang, jika ini dianggap pesimis. Kesempatan untuk meraih semua itu masih terbuka luas, salah satu caranya mungkin penata tari tidak berbuat hanya untuk sebuah event atau dalam rangka. Melainkan berproses terus menerus, mengelaborasi, menjelajahi tubuhnya dengan cerdik dan kreatif untuk menuju kematangan diri.
Global Tapi Lokal
Beruntunglah tidak semua penata tari muda pada malam itu tampil denga asal baru, dan harus berbeda dengan penata yang lain. Misalnya jenis koreografi yang disajikan oleh Wan Harun Ismail dari Pekanbaru bisa disebut sebagai ‘pencarian kreatif’ yang mana garapannya terinspirasi oleh tradisi Joged Dangkong. Magister Seni jebolan Institut Seni Indonesia Padangpanjang ini seolah-olah menegaskan dan membuktikan pada penonton malam itu bahwa, garapan yang fantastis ternyata juga bisa diperoleh dari kesederhanaan. 
Karya Wan Harun mengglobal namun lokal. Pijakan yang jelas, kuat dan dekat dengan idiom-idiom tradisi yang hidup dan berkembang di Kepulauan Riau tidak hanya membuat karyanya berbeda dengan karya tari lainnya, melainkan juga membuat penonton pada malam itu terlibat secara langsung. Namun sangat disayangkan Wan Harun tidak menjelajahi dua karakter dalam karyanya dengan tuntas.
Karya tari Long yang tampil di malam pertama, dengan penata tari Nuraini Tri Utami dari pekanbaru memiliki keunikan tersendiri dalam menata bentuk koreografinya. Potensi dan teknik gerak personalnya telah membuat jurang dengan peserta penata tari wanita lainnya. Geraknya berulang dan bertahan dengan pola teknik silat yang kental justru memberikan kesan lebih mendalam. Hanya saja keberhasilan Tri Utami pada paruh pertama, sangat disayangkan tidak mengalami perkembangan berarti pada bagian berikutnya. Dari sudut isi, karya mahasiswi semester akhir Sendratasik Universitas Islam Riau Pekanbaru ini menyoal tentang masalah sosial yang terjadi di sekelingnya.
Selain Tri Utami, penata tari wanita lain yang mencuri perhatian adalah Suryana mahasiswi jurusan tari Universitas Universal Batam. Koreografer berbadan mungil ini sukses di awal tariannya. Jika saja ia maksimal mengelaborasi Payung dengan potensi yang ia miliki, tentu karyanya akan berbicara lain. Secara teknik, pengalaman, dan pengetahuan ia telah mempunyai kecerdasan dalam melahirkan gagasan. Penulis pernah takjub dengan keberaniannya, ketika Suryana tampil memukau dengan nomor tunggalnya di event yang ditaja oleh Tengker di gedung Aisyah Tanjung Pinang. Tidak berlebihan kiranya, jika penulis berkesimpulan, ia merupakan penata tari berbakat, sudah seharusnya Suryana (mulai) menyadari potensi besar yang ia miliki. 
Berbeda dengan karya tari yang disuguhkan koreografer dari Bangka Belitung, karyanya ditata cukup rapi. pendekatannya lebih memberi perhatian pada teknik gerak yang mumpuni. Karya tunggal dengan durasi mendekati 12 menit itu tampil dengan kostum sehari-hari (jean, kemeja, beberapa helai kaus oblong, lengkap sepatu dan kaus kaki yang bagian atasnya warna warni). Koreografer berhasil membuat nafas penonton tertahan agak lama, apa lacur?, karena pilihan gerak dan tatanan tari menggunakan alur cepat sangat mendominasi. Untuk urusan teknik gerak dan kepenarian yang mumpuni, memang koreografer ini patut dipuji. Oleh karena paket kompleks yang ia miliki itulah menyebabkan kami bertiga Angga Mefri, Iwan Irawan dan Penulis sebagai tim eksekutor yang dipercaya oleh Sanggam ketika itu tidak butuh waktu lama untuk memutuskan Irfan Setiawan mahasiswa semester akhir Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menjadi yang terbaik. 
Dipenghujung diskusi kecil kami bertiga, sesaat usai memilih dan menetapkan karya terbaik, Iwan Irawan berharap kegiatan seperti ini tidak boleh berhenti sampai di sini, Sanggam harus memprogramkan sekurang menjadikan event dua tahunan. Angga Mefri mengamini, potensi yang dimiliki para penata tari muda diberikan wadah, ruang, dan laman guna mengasah kemampuannya. 
Kegelisahan Direktur Pasar Tari Kontemporer dan Direktur Kaba Festival yang telah mendunia itu cukup beralasan. Tidak mudah memang untuk menyelenggarakan kegiatan sekelas festival atau lomba tari, disamping masalah dana yang tidak sedikit, sampai setakat ini, dunia tari masih bersifat nonprofit. Bagaimana Bang Nizar, sebagai juru bicara Kepri, Suai ke?.

Tulisan ini telah tayang di Harian Tanjung PInang Pos dan Gurusiana.

Belum ada Komentar untuk "Geliat Sanggam; Wan Harun Menggigit, Irfan Setiawan di Puji"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2